WELCOME TO MY BLOG..... TERIMA KASIH UDAH MAMPIR

Maturnuwon jika bahannya kurang lengkap silahkan coment supaya kami bisa memperbaikinya Terima Kasih Alhamdulillah Jaza Kumullohu Khoiro

Jumat, 15 Mei 2009

ASKEP CURIGA

A. Proses terjadinya masalah.
Prilaku curiga merupakan gangguan berhubungan dengan orang lain dan lingkungan yang ditandai dengan persaan tidak percaya dan ragu-ragu. Prilaku tersebut tampak jelas saat individu berinteraksi dengan orang lain atau lingkungannya. Prilaku curiga merupakan prilaku proyeksi terhadap perasaan ditolak, ketidakadekuatan dan inferiority. Ketika klien kecemasannya meningkat dalam merespon terhadap stresor, intra personal, ekstra personal dan inter personal. Perasaan ketidak nyamanan di dalam dirinya akan diproyeksikan dan kemudian dia akan merasakan sebagai ancaman/ bahaya dari luar. Klien akan mempunyai fokus untuk memproyeksikan perasaannya yang akan menyebabkan perasaan curiga terhadap orang lain dan lingkungannya. Proyeksi klien tersebut akan menimbulkan prilaku agresif sebagaimana yang muncul pada klien atau klien mungkin menggunakan mekanisme pertahanan yang lain seperti reaksi formasi melawan agresifitas, ketergantungan, afek tumpul, denial, menolak terhadap ketidaknyamanan.
Faktor predisposisi dari curiga adalah tidak terpenuhinya trust pada masa bayi. Tidak terpenuhinya karena lingkungan yang bermusuhan, orang tua yang otoriter, suasana yang kritis dalam keluarga, tuntutan lingkungan yang tinggi terhadap penampilan anak serta tidak terpenuhinya kebutuhan anak. Dengan demikian anak akan menggunakan mekanisme fantasi untuk meningkatkan harga dirinya atau dia akan mengembangkan tujuan yang tidak jelas.
Pada klien , dari data yang ditemukan faktor predisposisi dari prilaku curiga adalah gangguan pola asuh. Di dalan keluarga klien merupakan anak angkat dari keluarga yang pada saat itu belum memiliki anak. Klien menjadi anak kesayangan ayahnya, karena klien dianggap sebagai pembawa rejeki keluarga. Sejak kelahiran adik-adiknya ( 7 orang ) klien mulai merasa tersisih dan tidak diperhatikan, merasa tidak nyaman, sehingga klien merasa terancam dari lingkungan keluarganya. Sejak itu klien tidak percaya pada orang lain, sering marah-marah dan mengamuk sehingga klien dibawa oleh keluarganya ke RS jiwa.


B. Masalah-masalah yang muncul pada klien curiga.
Masalah yang biasanya timbul pada klien curiga karena adanya kecemasan yang timbul akibat klien merasa terancam konsep dirinya, kurangnya rasa percaya diri terhadap lingkungan yang baru/asing (masalah ini tidak muncul pada klien G). Masalah lain yang juga sering muncul pada klien curiga yaitu marah, timbul sebagai proyeksi dari keadaan ketidak adekuatan dari perasaan ditolak (masalah ini muncul pada klien ).
Isolasi sosial merupakan masalah yang juga muncul pada diri klien. Klien menarik diri akibat perasaan tidak percaya pada lingkungan . Curiga merupakan afek dari mekanisme koping yang tidak efektif, klien menunjukan bingung peran, kesulitan membuat keputusan, berprilaku destruktif dan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang tidakl sesuai, dan masalah ini ada pada diri klien.
Masalah lain yang timbul adalah gangguan perawatan diri dan data yang diperoleh : klien berpenampilan tidak adekuat, dimana klien tidak mandi, tidak mau gosok gigi, rambut kotor dan banyak ketombe, kuku kotor dan panjang. (masalah ini ada pada diri klien)
Pada klien muncul juga gangguan harga diri rendah, dimana klien mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya ditunjukkan dengan prilaku menarik diri atau menyerang orang lain.( masalah ini ada pada diri klien)
Potensial gangguan nutrisi, pada klien curiga biasanya mengira makanan itu beracun atau petugas mungkin sudah memasukkan obat-obatan ke dalam minumannya, akibatnya tidak mau makan - minum. (masalah ini tidak ada pada diri klien)

PELAKSANAAN PROSES KEPERAWATAN

Pelaksanaan proses keperawatan berorientasi pada masalah yang timbul pada klien. Pada bab ini akan menyampaikan secara singkat mengenai pelaksanaan proses keperawatan yang meliputi : Diagnosa Keperawatan, Tujuan jangka panjang, Intervensi, Evaluasi dan tindak lanjut. Adapun proses keperawatan secra lengkap ada pada lampiran.
Diagnosa keperawatan I
Potensial melukai diri sendiri/ orang lain s/d ketidak mampuan klien mengungkapkan marah secara konstruktif.
Tupan : Tidak melukai orang lain/ diri sendiri serta mampu mengungkapkan marah secara konstruktif.
Intervensi :
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien .
2. Memelihara ketengann lingkungan, suasana hangat dan bersahabat.
3. Mempertahan kan sikap perwat secara konsisten.
4. Mendorong klien untuk mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien marah.
5. Mendiskusikan dengan klien tentang tanda-tanda yang biasa terjadi pada orang yang sedang marah.
6. Mendorong klien untuk mengatakan cara-cara yang dilekukan bila klien marah.
7. Mendiskusikan dengan klien cara mengungkapkan marah secara konstruktif.
8. Mendiskusikan dengan keluarga ( pada saat kunjungan rumah ) ttg marah pada klien , apa yang sudah dilakukan bila klien marah dirumah bila klien cuti.
Evaluasi :
• Klien mau menerima petugas (mahasiswa ), dan membalas salam.
• Berespon secara verbal.
• Membalas jabat tangan, mau diajak berbicara.
• Klien mampu mengungkapkan penyebab marahnya.
• Klien dapat mengenal tanda-tanda marah.
• Klien megatakan kalau amuk itu tidak baik.
• Klien dapat memperagakan tehnik relaksasi.
Tindak lanjut :
• Melanjutkan untuk latihan marah yang konstruktif dengan tehnik relaksasi, tehnik asertif.
Diagnosa keperawatan II
Gangguan hubungan sosial; menarik diri sehubungan dengan curiga.
Intervensi :
1. Membina hubungan saling percaya.
2. Bersikap empati pada klien.
3. Mengeksplorasi penyebab kecurigaan pada klien .
4. Mengadakan kontak sering dan singkat.
5. Meningkat respom klien terhadap realita.
6. Memberikan obat sesuai dengan program terapi dan mengawasi respon klien.
7. Mengikut sertakan klien dalam TAK sosialisasi untuk berinteraksi.
Evaluasi :
• Klien mampu mengeksplorasi yang menyebabkan curiga.
• Klien disiplin dalam meminum obat sesuai program terapi.
Tindak lanjut:
• Teruskan untuk program sosialisasi/ interaksi klien untuk mengurangi kecurigaan.
Diagnosa Keperawatan III
Penampilan diri kurang s/d kurang minat dalam kebersihan diri.
Tupan : Penampilan klien rapih dan bersih serta klien mampu merawat kebersihan diri.
Intervensi :
1. Memperhatikan tentang kebersihan klien .
2. Mendiskusikan dengan klien ttg gunanya kebersihan.
3. Memberikan reinforsemen positif apa yang sudah dilakukan klien.
4. Mendorong klien untuk mengurus kebersihan diri.
Tindak lanjut :
• Perlu dilanjutkan dengan TAK tentang kegiatan sehari-hari.
• Berikan motivasi agar klien mau merawat diri.
HARGA DIRI RENDAH

A. MASALAH UTAMA
Harga diri rendah.

B. PENGERTIAN
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri.

C. PROSES TERJADINYA MASALAH
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang diriya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart & Sunden, 1995). Konsep diri tidak terbentuk sejak lahir namun dipelajari.

RENTANG RESPON KONSEP DIRI

Respon adaptif Respon maladaptif


Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi
Diri positif rendah identitas

Salah satu komponen konsep diri yaitu harga diri dimana harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat, 1999). Sedangkan harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan dari orang lain.
Gangguan harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial.
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yag tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti :
1. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksika kejadian yang megancam.
2. Ketegangan peran beruhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Ada tiga jeis transisi peran :
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan.




Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara:
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba tiba, misal harus operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubugan kerja dll. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privacy yang kurang diperhatikan : pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopani (pemasangan kateter, pemeriksaan pemeriksaan perianal dll.), harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena di rawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai.
2. Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama

D. POHON MASALAH







Core problem






E. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah keperawatan:
a. Resiko isolasi sosial: menarik diri.
b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
c. Berduka disfungsional.
2. Data yang perlu dikaji:
a. Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
b. Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan berduka disfungsional.

G. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
a. Tujuan umum: sesuai masalah (problem).

b. Tujuan khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya
Salam terapeutik
Perkenalan diri
Jelaskan tujuan inteniksi
Ciptakan lingkungan yang tenang
Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan).
1.2. Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya.
1.3. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.
1.4. Katakan kepada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Tindakan:
2.1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
2.2. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan memberi pujian yang realistis.
2.3. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan:
3.1. Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
3.2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah.

4. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan.
4.2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
5.1. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
5.2. Beri pujian atas keberhasilan
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.


6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tindakan:
6.1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien.
6.2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
6.3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
6.4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
























DAFTAR PUSTAKA

 Boyd dan Nihart. (1998). Psychiatric Nursing& Contemporary Practice. 1st edition. Lippincot- Raven Publisher: Philadelphia.
 Carpenito, Lynda Juall. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta.
 Schultz dan Videback. (1998). Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5th edition. Lippincott- Raven Publisher: philadelphia.
 Keliat, Budi Anna dll. (1998). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC: Jakarta.
 Stuart dan Sundeen. (1995). Buku Saku Keperawatan Jwa. Edisi 3. EGC: Jakarta.
 Townsend. (1995). Nursing Diagnosis in Psychiatric Nursing a Pocket Guide for Care Plan Construction. Edisi 3.Jakarta : EGC
HALUSINASI DENGAR


1. MASALAH UTAMA
Gangguan persepsi sensori: Halusinasi dengar

II. PROSES TERJADINYA MASALAH
A. Pengertian
Halusinasi dengar merupakan persepsi sensoriyang salah terhadap stimulus dengar eksternal yang tidak mampu di identifikasi (Beck dan Wiliam, 1980).
Halusinasi dengar merupakan adanya persepsi sensori pada pendengaran individu tanpa adanya stimulus eksternal yang nyata (Stuart dan Sundeen, 1984).
B. Tanda dan gejala
Prilaku pasien yang teramati adalah sebagai berikut
1. Melirikan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa yang sedang berbicara.
2. Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang tidak sedang berbicara atau kepada benda mati seperti mebel, tembok dll.
3. Terlibat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak tampak.
4. Menggerak-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang menjawab suara.
C. Penyebab :
Isolasi sosial menarik diri
1. Pengertian
Menarik diri merupakan gangguan dengan menarik diri dan orang lain yang di tandai dengan isolasi diri (menarik diri) dan perawatan diri yang kurang.
2. Penyebab
a. Perkembangan
Sentuhan,perhatian,kehangatan dari keluarga yang mengakibatkan individu menyendiri, kemampuan berhubungan dengan klien tidak adekuat yang berakhir dengan menarik diri.
b. Harga diri rendah
3. Tanda dan gejala
Tanda gejala menarik diri dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain
a. Aspek fisik
1) Penampilan diri kurang.
2) Tidur kurang.
3) Keberanian kurang.
b. Aspek emosi
1) Bicara tidak jelas.
2) Merasa malu.
3) Mudah panik.
c. Aspek sosial
1) Duduk menyendiri
2) Tampak melamun
3) Tidak peduli lingkungan
4) Menghindar dari orang lain
d. Aspek intelektual
1) Merasa putus asa
2) Kurang percaya diri

D. Akibat
Resiko mencederai orang lain dan diri sendiri
1. Pengertian
Suatu keadaan dimana seorang individu melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya maupun orang lain di sekitarnya (Town send, 1994)
2. Penyebab
a. Halusinasi
b. Delusi
3.Tanda dan gejala
a. Adanya peningkatan aktifitas motorik
b. Perilaku aktif ataupun destruktif
c. Agresif

III. POHON MASALAH



IV. MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
A. Data Obyektif .
Apakah klien terdapat tanda dan gejala seperti di bawah ini
1) Melirikan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa yang sedang berbicara
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang tidak sedang berbicara atau kepada benda mati seperti mebel,tembok dll
3) Menggerak-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang menjawab suara
4) Tidur kurang/terganggu
5) Penampilan diri kurang
6) Keberanian kurang
7) Bicara tidak jelas
8) Merasa malu
9) Mudah panik
10) Duduk menyendiri.
11) Tampak melamun.
12) Tidak peduli lingkungan.
13) Menghindar dari orang lain.
14) Adanya peningkatan aktifitas motorik.
15) Perilaku aktif ataupun destruktif.

B. Data Subyektif
Pasien mengatakan sering mendengar suara-suara tanpa ada wujud yang tampak.

V. DIAGNOSA KEPERAWATAN
A. Resiko mencederai diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi dengar.
B. Gangguan persepsi sensori: halusinasi dengar berhubungan dengan adanya isolasi sosial : menarik diri.

VI. FOKUS INTERVENSI .
A. Diagnosa 1 . Resiko menciderai diri sensiri dan orang lain berhubungan dengan gangguan sensori : Halusinasi dengar .
TUM : Klien tidak menciderai orang lain .
TUK : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan kriteria hasil - Ekspresi wajah bersahabat.
- Menunjukan rasa senang.
- Ada kontak mata atau mau jabat tangan.
- Mau mrnyrbutkan nama.
- Mau menyebut dan menjawab salam.
- Mau duduk dan berdampingan dengan perawat.
- Mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Intervensi:
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik.
a. Sapa klien dengan ramah baik secara verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan.
e. Jujur dan menepati janji.
f. Tunjukan sikap empati dan terima klien apa adanya.
g. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuan dasar klien.
Rasionalisasi : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi selanjutnya.

TUK :2. Klien dapat mengenal halusinasi dengan kriteria hasil:
a. Klien dapat menyebutkan waktu, isi, frekuensi timbulnuya halusinasi.
b. Klien dapat mengungkapkan perasaanya terhadap halusinasi.
c. Bantu klien mengenal halusinasinya.
1) Jika menemukan klien yang sedang halusinasi, tanyakan apa yang sedang terdengar.
2) Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu namun perawat sendiri tidak melihatnya.
3) Katakan bahwa klien lain juga yang seperti klien.
4) Katakan bahwa perawat siap membantu klien.
d. Diskusikan dengan klien
1) Situasi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi.
2) Waktu dan frekuensinya terjadi halusinasi.
e. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi.

TUK : 3. Klien dapat mengontrol halusinasinya dengan kriteria hasil :
- Klien dapat menyebutkan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya.
- Klien dapat menyebutkan cara baru.
- Klien dapat memilih cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinasi.
- Klin dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Intervensi:
a. Identifikasi bersama klien cara yang dilakukan jika terjadi halusinasi.
Rasional: merupakan upaya untuk memutus siklus halusinasi.
b. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien, jika bermanfaat beri pujian. Rasional: reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
c. Diskusikan cara baru untuk mengontrol timbulnya halusinasi.
1) Katakan “ saya tidak mau dengar kamu”
2) Menemui orang lain untuk bercakap-cakap.
3) Melihat jadwal kegiatan sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul.
4) Meminta perawat /teman/keluarga untuk menyapa jika klien melamun.
Rasional: memberi alternative pikiran bagi klien
d. Bantu klien melatih dan memutus halusinasi secara bertahap. Rasional: Memotivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih salah satu cara pengendalian halusinasi.
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil
f. Anjurkan klien untuk mengikuti TAK, orientasi realita.
Rasional: Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interpretasi realita klien.

TUK : 4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya dengan kriteria hasil:
- Klien dapat menjalin hubungan saling percaya dengan perawat
- Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi
Intervensi:
a. Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga sedang halusinasi. Rasional: untuk mendapatkan bantuan keluarga dalam mengontrol halusinasi.
b. Diskusikan dengan keluarga tentang
1). Gejala halusinasi yang dialami klien.
2). Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarag untuk memutus halusinasi.
3). Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah, beri kegiatan jangan biarkan sendiri.
4). Beri informasi tentang kapan pasien memerluakn bantuan.
Rasional : Untuk meningkatkan pengetahuan tentang halusinasi.

TUK: 5. Klien memanfaatkan obat dengan baik. Dengan kriteria hasil :
- Klien dan keluarga mampu menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping
- Klien dapat menginformasikan manfaat dan efek samping obat
- Klien dapat memahami akibat pemakaina obat tanpa konsultasi
- Klien dapat menyebutkan prinsip 5 benar pengunaan obat.
Intervensi:
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat.
b. Anjurkan klien untuk minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya.
c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat obat dan efek samping obat yang dirasakan.
Rasional ; dengan mengetahui efek samping obat klien tahu apa yang harus dilakukan setelah minum obat.
d. Diskusikan bahayanya obat tanpa konsultasi.
Rasional: Pengobatan dapat berjalan sesuai dengan rencana.
e. Bantu klien menggunakan prinsip lama benar.
Rasional: dengan mengetahui prinsip maka kemandirian klien tentang pengobatan dapat ditingkatkan secara bertahap.










DAFTAR PUSTAKA

1. Boyd dan Nihart. 1998. Psichiatric Nursing & Contenporary Practice . I Edition . Lippincot . Philadelphia .

2. Carpenito , Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan . EGC. Jakarta .

3. Schultz dan Videback. 1998. Manual Psychiatric Nursing Care Plan. 5 th Edition . Lippincott. Philadelphia .

4. Keliat , Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa . EGC. Jakarta.

5. Stuart dan sundeen . 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 3. EGC.Jakarta .

6. Townsend . 1995. Nursing Diagnosis In Psychiatric Nursing a Pocket Guide For Care Plan Construction . Edisi 3 . EGC. Jakarta.
SUNGSANG


A. PENGERTIAN
Adalah suatu kelainan posisi janin memanjang dengan kepala di bagian atas rahim dan bokongnya ada di bagian bawah

B. ETIOLOGI
1. Bobot janin relatif rendah.
Hal ini mengakibatkan janin bebas bergerak. Ketika menginjak usia 28-34 minggu kehamilan, berat janin makin membesar, sehingga tidak bebas lagi bergerak. Pada usia tersebut, umumnya janin sudah menetap pada satu posisi. Kalau posisinya salah, maka disebut sungsang.
2. Rahim yang sangat elastis.
Hal ini biasanya terjadi karena ibu telah melahirkan beberapa anak sebelumnya, sehingga rahim sangat elastis dan membuat janin berpeluang besar untuk berputar hingga minggu ke-37 dan seterusnya.
3. Hamil kembar.
Adanya lebih dari satu janin dalam rahim menyebabkan terjadinya perebutan tempat. Setiap janin berusaha mencari tempat yang nyaman, sehingga ada kemungkinan bagian tubuh yang lebih besar (yakni bokong janin) berada di bagian bawah rahim.
4. Hidramnion (kembar air).
Volume air ketuban yang melebihi normal menyebabkan janin lebih leluasa bergerak walau sudah memasuki trimester ketiga.

5. Hidrosefalus.
Besarnya ukuran kepala akibat kelebihan cairan (hidrosefalus) membuat janin mencari tempat yang lebih luas, yakni di bagian atas rahim.
6. Plasenta previa.
Plasenta yang menutupi jalan lahir dapat mengurangi luas ruangan dalam rahim. Akibatnya, janin berusaha mencari tempat yang lebih luas yakni di bagian atas rahim.
7. Panggul sempit.
Sempitnya ruang panggul mendorong janin mengubah posisinya menjadi sungsang.
8. Kelainan bawaan.
Jika bagian bawah rahim lebih besar daripada bagian atasnya, maka janin cenderung mengubah posisinya menjadi sungsang.

C. DETEKSI KEHAMILAN SUNGSANG
1. Melakukan perabaan perut bagian luar.
Cara ini dilakukan oleh dokter atau bidan. Janin akan diduga sungsang bila bagian yang paling keras dan besar berada di kutub atas perut. Perlu diketahui bahwa kepala merupakan bagian terbesar dan terkeras dari janin.
2. Melalui pemeriksaan bagian dalam menggunakan jari.
Cara ini pun hanya bisa dilakukan oleh dokter atau bidan. Bila di bagian panggul ibu lunak dan bagian atas keras, berarti bayinya sungsang.
3. Ultrasonografi (USG).
D. TINDAKAN SEBELUM PERSALINAN
Untuk mengembalikan posisi janin ke posisi yang normal, tindakan yang bisa dilakukan adalah:
1. Dianjurkan untuk melakukan posisi bersujud (knee chest position), dengan posisi perut seakan-akan menggantung ke bawah.
Cara ini harus rutin dilakukan setiap hari sebanyak 2 kali, misalnya pagi dan sore. Masing-masing selama 10 menit. Bila posisi ini dilakukan dengan baik dan teratur, kemungkinan besar bayi yang sungsang dapat kembali ke posisi normal. Kemungkinan janin akan kembali ke posisi normal, berkisar sekitar 92 persen. Dan posisi bersujud ini tidak berbahaya karena secara alamiah memberi ruangan pada bayi untuk berputar kembali ke posisi normal
2. Externalcephalic versin/ECV.
Metode ini adalah mengubah posisi janin dari luar tubuh sang ibu. Cara ini dilakukan saat kandungan mulai memasuki usia 34 minggu. Sayangnya, cara ini menimbulkan rasa sakit bahkan kematian janin, akibat kekurangan suplai oksigen ke otaknya.

E. TINDAKAN PERSALINAN
Tindakan persalinan pada janin dengan posisi sungsang :
1. Persalinan Pervaginam
Proses persalinan yang salah, jelas menimbulkan risiko, seperti janin mengalami pundak patah atau saraf di bagian pundak tertarik (akibat salah posisi saat menarik bagian tangannya ke luar), perdarahan otak (akibat kepalanya terjepit dalam waktu yang lama), patah paha (akibat salah saat menarik paha ke luar), dan lain-lain. Untuk itu biasanya dokter menggunakan partograf, alat untuk memantau kemajuan persalinan.
2. Sectio Caesarea
Jika persalinan dinilai berjalan lambat, maka harus segera dilakukan operasi bedah sesar.
SECTIO CAESAREA


A. PENGERTIAN
Operasi caesarea adalah kelahiran janin cukup bulan hidup melalui insisi sayatan) pada dinding perut dan rahim bagian depan.

B. ETIOLOGI
Infeksi ekstrakranial , misalnya OMA dan infeksi respiratorius bagian atas

C. PATOFISIOLOGI
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat teerjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
 Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
 Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
 Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
 Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.
b. Kejang parsial kompleks
 Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
 Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
 Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
 Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
 Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
 Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
 Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
 Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
 Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
 Kehilangan kesadaran hanya sesaat.
c. Kejang tonik klonik
 Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
 Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
 Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
 Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
d. Kejang atonik
 Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
 Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

E. KOMPLIKASI
1. Aspirasi
2. Asfiksia
3. Retardasi mental

F. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak
5. Uji laboratorium
 Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
 Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
 Panel elektrolit
 Skrining toksik dari serum dan urin
 GDA
 Kadar kalsium darah
 Kadar natrium darah
 Kadar magnesium darah

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Memberantas kejang Secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
2. Pengobatan penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh Dilupakan perlunya pengobatan penunjang
 Semua pakaian ketat dibuka
 Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
 Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi.
 Penhisapan lendir harus dilakukan secara tertur dan diberikan oksigen.
3. Pengobatan rumat
 Profilaksis intermiten
Untuk mencegah kejang berulang, diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipietika. Profilaksis ini diberikan sampai kemungkinan sangat kecil anak mendapat kejang demam sederhana yaitu kira - kira sampai anak umur 4 tahun.
 Profilaksis jangka panjang
Diberikan pada keadaan
 Epilepsi yang diprovokasi oleh demam
 Kejang demam yang mempunyai ciri :
- Terdapat gangguan perkembangan saraf seperti serebral palsi, retardasi perkembangan dan mikrosefali
- Bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, berdifat fokal atau diikiuti kelainan saraf yang sementara atau menetap
- Riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
- Kejang demam pada bayi berumur dibawah usia 1 bulan
4. Mencari dan mengobati penyebab

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KEJANG DEMAM
A. Pengkajian
Pengkajian neurologik :
1. Tanda – tanda vital
 Suhu
 Pernapasan
 Denyut jantung
 Tekanan darah
 Tekanan nadi
2. Hasil pemeriksaan kepala
 Fontanel : menonjol, rata, cekung
 Lingkar kepala : dibawah 2 tahun
 Bentuk Umum
3. Reaksi pupil
 Ukuran
 Reaksi terhadap cahaya
 Kesamaan respon
4. Tingkat kesadaran
 Kewaspadaan : respon terhadap panggilan
 Iritabilitas
 Letargi dan rasa mengantuk
 Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5. Afek
 Alam perasaan
 Labilitas
6. Aktivitas kejang
 Jenis
 Lamanya
7. Fungsi sensoris
 Reaksi terhadap nyeri
 Reaksi terhadap suhu
8. Refleks
 Refleks tendo superfisial
 Reflek patologi
9. Kemampuan intelektual
 Kemampuan menulis dan menggambar
 Kemampuan membaca
B. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi cidera
2. Gangguan citra tubuh
3. Resiko tinggi koping keluarga dan koping individu tidak efektif
C. Intervensi keperawatan
1. Kejang
 Lindungi anak dari cidera
 Jangan mencoba untuk merestrain anak
 Jika anak berdiri atau duduk sehingga terdapat kemungkinan jatuh, turunkan anak tersebut agar tidak jatuh
 Jangan memasukan benda apapun kedalam mulut anak
 Longgarkan pakaiannya jika ketat
 Cegah anak agar tidak trpukul benda tajam, lapisi setiap benda yang mungkin terbentur dengan anak dan singkirkan semua benda tajam dari daerah tersebut
 Miringkan badan anak untuk mem fasilitasi bersihan jalan nafas dari sekret
2. Lakukan observasi secara teliti dan catat aktiitas kejang untuk membantu diagnosis atau pengkajian respon pengobatan
 Waktu awitan dan kejadian pemicu
 Aura
 Jenis kejang
 Lamanya kejang
 Intervensi selama kejang
 Tanda tanda vital










DAFTAR PUSTAKA

1. Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
2. Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa : Maulanny R.F. Jakarta : EGC.
3. Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC
4. Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru
5. Kejang Pada Anak. www. Pediatrik.com/knal.php
PRE EKLAMSI

I. KONSEP DASAR TEORI
A. PENGERTIAN
Per eklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan protein uria tetapi tidak menjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih ( Rustam Muctar, 1998 ).

B. PATOFISIOLOGI
Pada pre eklampsia terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi peningkatan hematokrit. Perubahan ini menyebabkan penurunan perfusi ke organ , termasuk ke utero plasental fatal unit. Vasospasme merupakan dasar dari timbulnya proses pre eklampsia. Konstriksi vaskuler menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi arterial. Vasospasme dapat diakibatkan karena adanya peningkatan sensitifitas dari sirculating pressors. Pre eklampsia yang berat dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh yang lain. Gangguan perfusi plasenta dapat sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation.

II. KONSEP DASAR ASKEP
A. PENGKAJIAN
Data yang dikaji pada ibu dengan pre eklampsia adalah :
1. Data subyektif :
- Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
- Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur
- Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM
- Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
- Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan
- Psiko sosial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya
-
2. Data Obyektif :
- Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam
- Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema
- Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress
- Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM ( jika refleks + )
- Pemeriksaan penunjang ;
• Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam
• Laboratorium : protein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif ), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml
• Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu
• Tingkat kesadaran ; penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak
• USG ; untuk mengetahui keadaan janin
• NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin

B. MASALAH KEPERAWATAN
a. Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi organ ( vasospasme dan peningkatan tekanan darah )
b. Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada plasenta
c. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan kontraksi uterus dan pembukaan jalan lahir
d. Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif terhadap proses persalinan

C. PERENCANAAN

Diagnosa keperawatan I :
Resiko tinggi terjadinya kejang pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu

Kriteria Hasil :
- Kesadaran : compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )
- Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 100-120/70-80 mmHg Suhu : 36-37 C
Nadi : 60-80 x/mnt RR : 16-20 x/mnt
Intervensi :
1. Monitor tekanan darah tiap 4 jam
R/. Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan indikasi dari PIH
2. Catat tingkat kesadaran pasien
R/. Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak
3. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia ( hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria )
R/. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak, ginjal, jantung dan paru yang mendahului status kejang
4. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus
R/. Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan terjadinya persalinan
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM
R/. Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk mencegah terjadinya kejang

Diagnosa keperawatan II :
Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada plasenta
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin

Kriteria Hasil :
- DJJ ( + ) : 12-12-12
- Hasil NST :
- Hasil USG ;

Intervensi :
1. Monitor DJJ sesuai indikasi
R/. Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta
2. Kaji tentang pertumbuhan janin
R/. Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga timbul IUGR
3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta ( nyeri perut, perdarahan, rahim tegang, aktifitas janin turun )
R/. Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia bagi janin
4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM
R/. Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas janin
5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST
R/. USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin

Diagnosa keperawatan III :
Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan kontraksi uterus dan pembukaan jalan lahir
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan ibu mengerti penyebab nyeri dan dapat mengantisipasi rasa nyerinya
Kriteria Hasil :
- Ibu mengerti penyebab nyerinya
- Ibu mampu beradaptasi terhadap nyerinya
-
Intervensi :
1. Kaji tingkat intensitas nyeri pasien
R/. Ambang nyeri setiap orang berbeda ,dengan demikian akan dapat menentukan tindakan perawatan yang sesuai dengan respon pasien terhadap nyerinya
2. Jelaskan penyebab nyerinya
R/. Ibu dapat memahami penyebab nyerinya sehingga bisa kooperatif
3. Ajarkan ibu mengantisipasi nyeri dengan nafas dalam bila HIS timbul
R/. Dengan nafas dalam otot-otot dapat berelaksasi , terjadi vasodilatasi pembuluh darah, expansi paru optimal sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi
4. Bantu ibu dengan mengusap/massage pada bagian yang nyeri
R/. untuk mengalihkan perhatian pasien

Diagnosa keperawatan IV :
Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif terhadap proses persalinan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan kecemasan ibu berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
- Ibu tampak tenang
- Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan
- Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang
Intervensi :
1. Kaji tingkat kecemasan ibu
R/. Tingkat kecemasan ringan dan sedang bisa ditoleransi dengan pemberian pengertian sedangkan yang berat diperlukan tindakan medikamentosa
3. Jelaskan mekanisme proses persalinan
R/. Pengetahuan terhadap proses persalinan diharapkan dapat mengurangi emosional ibu yang maladaptif
2. gali dan tingkatkan mekanisme koping ibu yang efektif
R/. Kecemasan akan dapat teratasi jika mekanisme koping yang dimiliki ibu efektif
3. Beri support system pada ibu
R/. ibu dapat mempunyai motivasi untuk menghadapi keadaan yang sekarang secara lapang dada asehingga dapat membawa ketenangan hati

D. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan.

E. EVALUASI
Evaluasi disesuaikan dengan criteria hasil yang telah ditentukan.
MIOMA UTERI

A. Pengertian
Mioma uteri adalah neoplasma yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya sehingga dapat disebut juga leiomioma, fibromioma, atau fibroid. (Ilmu Kandungan, 1999)

B. Patofisiologi/pathways
Mioma memiliki reseptor estrogen yang lebih banyak dibanding miometrium normal. Teori cell nest atau teori genitoblat membuktikan dengan pemberian estrogen ternyata menimbulkan tumor fibromatosa yang berasal dari sel imatur. Mioma uteri terdiri dari otot polos dan jaringan yang tersusun seperti konde diliputi pseudokapsul. Mioma uteri lebih sering ditemukan pada nulipara, faktor keturunan juga berperan. Perubahan sekunder pada mioma uteri sebagian besar bersifaf degeneratif karena berkurangnya aliran darah ke mioma uteri. Menurut letaknya, mioma terdiri dari mioma submukosum, intramular dan subserosum.
Pathways: Penyebab: belum diketahui

C. Tanda dan Gejala
Gejala yang dikeluhkan tergantung letak mioma, besarnya, perubahan sekunder, dan komplikasi. Tanda dan gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Perdaharahan abnormal seperti dismenore, menoragi, metroragi
2. Rasa nyeri karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma yang disertai nekrosis dan peradangan.
3. Gejala dan tanda penekanan seperti retensio urine, hidronefrosis, hidroureter, poliuri.
4. Abortus spontan karena distorsi rongga uterus pada mioma submukosum.
5. Infertilitas bila sarang mioma menutup atau menekan pars interstitialis tuba.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. USG abdominal dan transvaginal
2. Laparaskopi.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mioma uteri adalah dengan tindakan pembedahan yaitu miomektomi dan atau histerektomi.

F. Pengkajian primer, Identitas Klien, data fokus:

1. Ketidak teraturan menstruasi (perdarahan abnormal)
2. Infertilitas, anovulasi
3. Nulipara
4. Keterlambatan menopause
5. Penggunaan jangka panjang obat estrogen setelah menopause.
6. Riwayat : Obesitas, Diabetes Melitus, Hipertensi, Hiperplasi adenomatosa.
7. Ada benjolan di perut bagian bawah dan rasa berat.

G. Pengkajian sekunder

1. Pemeriksaan USG : Untuk melihat lokasi, besarnya mioma, diagnosis banding dengan kehamilan.
2. Laparaskopi : Untuk melihat lokasi, besarnya mioma uteri

H. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Nyeri b.d. gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma akibat nekrosis dan peradangan.
2. Cemas b.d. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
3. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh b.d. perdarahan pervaginam berlebihan.
4. Resiko tinggi infeksi b.d. tidak adekuat pertahanan tubuh akibat anemia.

I. Intervensi Keperawatan.
1. Nyeri b.d. gangguan sirkulasi darah pada mioma akibat nekrosis dan peradangan. Ditandai:
DO : Klien tampak gelisah, perilaku berhati-hati, ekspresi tegang, TTV.
DS : Klien menyatakan ada benjolan di perut bagian bawah rasa berat dan terasa sakit, perut terasa mules.
Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam.
Kriteria Hasil:
- Klien menyatakan nyeri berkurang (skala 3-5)
- Klien tampak tenang, eksprei wajah rileks.
- Tanda vital dalam batas normal : Suhu : 36-37 0C
N : 80-100 x/m
RR : 16-24x/m
TD : Sistole : 100-130 mmHg
Diastole : 70-80 mmHg
Intervensi :
- Kaji riwayat nyeri, mis : lokasi nyeri, frekuensi, durasi dan intensitas (kala 0-10) dan tindakan pengurangan yang dilakukan.
- Bantu pasien mengatur posisi senyaman mungkin.
- Monitor tanda-tanda vital
- Ajarkan pasien penggunaan keterampilan manajemen nyeri mis : dengan teknik relaksasi, tertawa, mendengarkan musik dan sentuhan terapeutik.
- Evaluasi/ kontrol pengurangan nyeri
- Ciptakan suasana lingkungan tenang dan nyaman.
- Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai indikasi.
2. Cemas b.d kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan. Ditandai:
DO : Klien tampak gelisah, tegang, tidak kooperatif dalam mengikuti pengobatan, TTV.
DS : Klien menyatakan takut dan tidak mengetahui tentang penyakitnya.
Tujuan : Setelah 2 x 15’ tatap muka pengetahuan klien tentang penyakitnya bertambah dan cemas berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien mengatakan rasa cemas berkurang
- Klien kooperatif terhadap prosedur/ berpartisipasi.
- Klien mengerti tentang penyakitnya.
- Klien tampak rileks.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal : Suhu : 36- 37 oC, Nadi : 80-100x/m, R: 16-24 x/m TD.: Sistole: 100-130 mmHg, Diastole : 70-80 mmHg
Intervensi :
- Kaji ulang tingkat pemahaman pasien tentang penyakitnya.
- Tanyakan tentang pengalaman klien sendiri/ orang lain sebelumnya yang pernah mengalami penyakit yang sama.
- Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya
- Ciptakan lingkungan tenang dan terbuka dimana pasien meraa aman unuk mendiskusikan perasaannya.
- Berikan informasi tentang penyakitnya, prognosi, dan pengobatan serta prosedur secara jelas dan akurat.
- Monitor tanda-tanda vital.
- Berikan kesempatan klien untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas.
- Minta pasien untuk umpan balik tentang apa yang telah dijelaskan.
- Libatkan orang terdekat sesuai indikasi bila memungkinkan.

3. Resiko tinggi kekurngan volume cairan tubuh b.d. perdarahan pervaginam berlebihan. Ditandai dengan :
DO : adanya perdarahan pervaginam
DS : -
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan tubuh.

Kriteria Hasil :
- Tidak ditemukan tanda-tanda kekuranga cairan. Seperti turgor kulit kurang, membran mukosa kering, demam.
- Pendarahan berhenti, keluaran urine 1 cc/kg BB/jam.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal : Suhu : 36-370C, Nadi : 80 –100 x/m, RR :16-24 x/m, TD : Sistole : 100-130 mmHg, Diastole : 70-80 mmHg
Intervensi :
- Kaji tanda-tanda kekurangan cairan.
- Pantau masukan dan haluaran/ monitor balance cairan tiap 24 jam.
- Monitor tanda-tanda vital. Evaluasi nadi perifer.
- Observasi pendarahan
- Anjurkan klien untuk minum + 1500-2000 ,l/hari
- Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral dan kalau perlu transfusi sesuai indikasi, pemeriksaan laboratorium. Hb, leko, trombo, ureum, kreatinin.

4. Resiko tinggi infeksi b.d. pertahanan tubuh tidak adekuat akibat penurunan haemoglobin (anemia).
DO : Kadar Haemoglobin kurang dari normal.
DS : -
Tujuan : Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan perawatan selama 2x 24 jam.
Kriteria Hasil :
- Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti rubor, color, dolor dan fungsiolesia.
- Kadar haemoglobin dalam batas normal : 11-14 gr%
- Pasien tidak demam/ menggigil, suhu : 36-370 C
Intervensi :
- Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
- Lakukan cuci tangan yang baik sebelum tindakan keperawatan.
- Gunakan teknik aseptik pada prosedur perawatan.
- Monitor tanda-tanda vital dan kadar haemoglobin serta leukosit.
- Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
- Batasi pengunjung untuk menghindari pemajanan bakteri.
- Kolaborasi dengan medis untuk pemberian antibiotika.









DAFTAR PUSTAKA

1. Kapita Selekta Kedokteran, 1999, Editor: Arif Mansjoer dkk, Edisi 3, Jilid 1,. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
2. Ilmu Kandungan, 1999, Editor : Hanifa Wiknjosastro dkk, Edisi II, Cetakan 3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
3. Doengoes Marillyn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati, Editor : Monica Ester, Edisi 3, EGC, Jakarta.
4. Carpenitto Linda Jual, 2000, Asuhan Keperawatan, Edisi 2, EGC, Jakarta.
KISTA OVARI

A. Pengertian
Menurut (Winkjosastro, et. all, 1999) kistoma ovarii merupakan suatu tumor, baik yang kecil maupun yang besar, kistik atau padat, jinak atau ganas. Dalam kehamilan, tumor ovarium yang dijumpai yang paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat menghalang-halangi masuknya kepala ke dalam panggul.

B. Etiologi
Menurut etiologinya, kista ovarium dibagi menjadi dua, yaitu (Ignativicius, Bayne, 1991) :
1. Kista non neoplasma, disebabkan karena ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, diantaranya adalah :
1. Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, berasal dari permukaan epitelium yang berkurang di dalam kortek.
2. Kista fungsional
 Kista folikel, disebabkan karena folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Banyak terjadi pada wanita yang menarche kurang dari 12 tahun.
 Kista korpus luteum, terjadi karena bertambahnya sekresi progesteron setelah ovulasi.
 Kista tuka lutein, disebabkan karena meningkatnya kadar HCG terdapat pada mola hidatidosa.
 Kista stein laventhal, disebabkan karena peningkatan kadar LH yang menyebabkan hiperstimulasi ovarium.

2. Kista neoplasma (Wiknjosastro, et.all, 1999)
a. Kistoma ovarii simpleks. Adalah suatu jenis kistadenoma serosum yang kehilangan epitel kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista.
b. Kistadenoma ovarii musinosum. Asal kista ini belum pasti, mungkin berasal dari suatu teratoma yang pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen yang lain.
c. Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium).
d. Kista endometroid. Belum diketahui penyebabnya dan tidak ada hubungannya dengan endometrioid.
e. Kista dermoid. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.

C. Patofisiologi
1. Kista non neoplasma (Ignativicius, Bayne, 1991 )
1. Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, di dalam kortek yang dalam timbul invaginasi dari permukaan epitelium yang berkurang. Biasanya tunggal atau multiple, berbentuk variabel dan terbatas pada cuboidal yang tipis, endometri atau epitelium tuba. Berukuran 1 cm sampai beberapa cm.
2. Kista fungsional
1). Kista folikel. Kista dibentuk ketika folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Bila ruptur menyebabkan nyeri akut pada pelvis. Evaluasi lebih lanjut dengan USG atau laparaskopi. Operasi dilakukan pada wanita sebelum pubertal, setelah menopause atau kista lebih dari 8 cm.
2). Kista korpus luteum. Terjadi setelah ovulasi dikarenakan meningkatnya hormon progesteron. Ditandai dengan keterlambatan menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah atau pelvis. Jika ruptur pendarahan intraperitonial, terapinya adalah operasi oovorektomi.
3). Kista tuka lutein. Ditemui pada kehamilan mola, terjadi pada 50 % dari semua kehamilan. Dibentuk sebagai hasil lamanya slimulasi ovarium dari berlebihnya HCG. Tindakannya adalah mengangkat mola.
4). Kista Stein Laventhal. Disebabkan kadar LH yang berlebihan menyebabkan hiperstimulasi dari ovarium dengan produksi kista yang banyak. Hiperplasia endometrium atau koriokarsinoma dapat terjadi. Pengobatan dengan kontrasepsi oral untuk menekan produksi LH dan oovorektomi.
2. Kish neoplasma jinak (Wiknjosastro, et.all, 1999)
1. Kistoma ovarii simplek. Kista ini bertangkai dan dapat menyebabkan torsi (putaran tangkai). Di duga kista ini adalah jenis kistadenoma serosum yang kehilangan kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista. Tindakannya adalah pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.
2. Kistadenoma ovarii musinosum. Asal tumor belum diketahui secara pasti, namun diduga berasal dari teratoma yang pertumbuhan satu elemen mengalahkan elemen yang lain, atau berasal dari epitel germinativum.
3. Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium). Bila kista terdapat implantasi pada peritonium disertai asites maka harus dianggap sebagai neoplasma yang ganas, dan 30% sampai 35% akan mengalami keganasan.
4. Kista endometroid. Kista biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding dalam terdapat satu lapisan sel-sel yang menyerupai lapisan epitel endometrium.
5. Kista dermoid. Adalah suatu teratoma kistik yang jinak dimana struktur-struktur ektoderma dengan diferensiasi sempurna seperti epitel kulit, rambut, gigi dan produk glandula sebasea putih menyerupai lemak nampak lebih menonjol dari pada elemen-elemen ektoderm dan mesoderm. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.


D. Gambaran Klinis Kistadenoma Oovarii Serosum
Mayoritas penderita tumor ovarium tidak menunjukkan adanya gejala sampai periode waktu tertentu. Hal ini disebabkan perjalanan penyakit ovarium berlangsung secara tersembunyi sehingga diagnosis sering ditemukan pada waktu pasien dalam keadaan stadium lanjut. Sampai pada waktunya klien mengeluh adanya ketidakteraturan menstruasi, nyeri pada perut bawah, rasa sebah pada perut, dan timbul benjolan pada perut.
Pada umumnya kista jenis ini tak mempunyai ukuran yang amat besar dibandingkan dengan kistadenoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin, akan tetapi dapat pula berbagala karena kista ovariumpun dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50 %; dan keluar pada permukaan kista sebesar 5 %. Isi kista cair kuning dan kadang-kadang coklat karena campuran darah. Tidak jarang kistanya sendiri kecil, tetapi permukaannya penuh dengan pertumbuhan papiler (solid papiloma).

E. Proses Penyembuhan Luka
Tanpa memandang bentuk, proses penyembuhan luka adalah sama, perbedaan terjadi menurut waktu pada tlap-tiap fase penyembuhan dan waktu granulasi jaringan. (Long, 1996), fase-fase penyembuhan luka antara lain :
1. Fase I
Pada fase ini leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak, terbentuk fibrin yang bertumpuk mengisi luka dari benang fibrin. Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi lewat luka dan membantu menutupi luka. Kekuatan luka rendah tapi luka dijahit akan menahan jahitan dengan baik. Setelah besar pasien akan merasa sakit pada fase ini dan berlangsung selama 3 hari.
2. Fase II
Berlangsung 3 sampai 14 hari setelah bedah, leukosit mulai menghilang dan ceruk mulai berisi kolagen serabut protein putih. Semua lapisan sel epitel beregenerasi dalam 1 minggu, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh darah. Tumpukan kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6 sampai 7 hari, jadi jahitan diangkat pada fase ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.
3. Fase III
Kolagen terus tertumpuk, hal ini menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas, terjadi pada minggu ke dua hingga enam post bedah, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.
4. Fase IV
Berlangsung beberapa bulan setelah bedah, pasien akan mengeluh gatal di seputar luka, walau kolagen terus menimbun, pada waktu ini luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur karena penciutan luka akan terjadi ceruk yang berlapis putih.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan silat-sifat tumor itu.
2. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam tumor. Penggunaan foto rontgen pada pictogram intravena dan pemasukan bubur barium dalam colon disebut di atas.
4. Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna menentukan sebab asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan cavum peritonei dengan kista bila dinding kista tertusuk. (Wiknjosastro, et.all, 1999)
G. Penatalaksanaan
Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung tumor. Akan tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi, perlu dilakukan pengangkatan ovarium, bisanya disertai dengan pengangkatan tuba (Salpingo-oovorektomi). (Wiknjosastro, et.all, 1999)
Asuhan post operatif merupakan hal yang berat karena keadaan yang mencakup keputusan untuk melakukan operasi, seperti hemorargi atau infeksi. Pengkajian dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda vital, asupan dan keluaran, rasa sakit dan insisi. Terapi intravena, antibiotik dan analgesik biasanya diresepkan. Intervensi mencakup tindakan pemberiaan rasa aman, perhatian terhadap eliminasi, penurunan rasa sakit dan pemenuhan kebutuhan emosional Ibu. (Hlamylton, 1995).
Efek anestesi umum. Mempengaruhi keadaan umum penderita, karena kesadaran menurun. Selain itu juga diperlukan monitor terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit, suara nafas dan usaha pernafasan, tanda-tanda infeksi saluran kemih, drainese urin dan perdarahan. Perawat juga harus mengajarkan bagaimana aktifitas pasien di rumah setelah pemulangan, berkendaraan mobil dianjurkan setelah satu minggu di rumah, tetapi tidak boleh mengendarai atau menyetir untuk 3-4 minggu, hindarkan mengangkat benda-benda yang berat karena aktifitas ini dapat menyebabkan kongesti darah di daerah pelvis, aktifitas seksual sebaiknya dalam 4-6 minggu setelah operasi, kontrol untuk evaluasi medis pasca bedah sesuai anjuran. (Long, 1996)

II. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Yaitu suatu kegiatan mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan dasar untuk tindakan dan keputusan yang diambil pada tahap-tahap selanjutnya. Adapun pengkajiannya meliputi :

a. Biodata
Meliputi identitas pasien, identitas penanggung jawab dan identitas masuk.
b. Riwayat kesehatan, meliputi keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial ekonomi.
c. Status Obstetrikus, meliputi :
1). Menstruasi : menarche, lama, siklus, jumlah, warna dan bau
2). Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, usia perkawinan
3). Riwayat persalinan
4). Riwayat KB
d. Pengkajian pasca operasi rutin, menurut (Ingram, Barbara, 1999)
1). Kaji tingkat kesadaran
2). Ukur tanda-tanda vital
3). Auskultasi bunyi nafas
4). Kaji turgor kulit
5). Pengkajian abdomen
 Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
 Auskultasi bising usus
 Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa
 Tanyakan tentang perubahan pola defekasi
 Kaji status balutan
6). Kaji terhadap nyeri atau mual
7). Kaji status alat intrusif
8). Palpasi nadi pedalis secara bilateral
9). Evaluasi kembajinya reflek gag
10). Periksa laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan lamanya waktu di bawah anestesi.
11). Kaji status psikologis pasien setelah operasi
e. Data penunjang
1). pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah lengkap (NB, HT, SDP)
2). terapi : terapi yang diberikan pada post operasi baik injeksi maupun peroral

2. Diagnosa Keperawatan Dan Fokus Intervensi
a. Resiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 2001)
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : Tidak mengalami aspirasi, pasien dapat mengungkapkan tindakan untuk menghindari aspirasi.
Intervensi :
1). Pertahankan posisi baring miring jika tidak ada kontra indikasi karena cidera.
2). Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak (jatuh kebelakang, menyumbat jalan nafas).
3). Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi, jika tidak ada kontra indikasi.
4). Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorok dengan tissu atau penghisap dengan perlahan-lahan.
5). Kaji kembali dengan sering adanya obstruksi benda-benda dalam mulut dan tenggorok.

b. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 1995)
Tujuan : Tidak terjadi injuri yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : GCS normal (E4, V5, M6)
Intervensi :
1). Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar pengaman yang terpasang.
2). Jauhkan benda-benda yang dapat melukai pasien dan anjurkan keluarga untuk menemani pasien.

c. Gangguan rasa nyaman : nyeri abdomen berhubungan dengan insisi pada abdomen (Long,1996)
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : skala nyeri 0, pasien mengungkapkan berkurangnya rasa nyeri, tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
1). Jelaskan penyebab nyeri pada pasien.
2). Kaji skala nyeri pasien.
3). Ajarkan tehnik distraksi selama nyeri.
4). Berikan individu kesempatan untuk istirahat yang cukup.
5). Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik sesuai program dokter.
6). 30 menit setclah pemberian obat pengurang rasa sakit, evaluasi kembali efektifitasnya.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan invasi kuman sekunder terhadap pembedahan (Carpenito, 1995)
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi (TTV normal, tidak ada peningkatan leukosit).
Intervensi :
1). Kaji tanda-tanda infeksi dan monitor TTV
2). Gunakan tehnik antiseptik dalam merawat pasien
3). Isolasikan dan instruksikan individu dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum mendekati pasien
4). Tingkatkan asupan makanan yang bergizi
5). Berikan terapi antibiotik sesuai program dokter


e. Resiko konstipasi berhubungan dengan pembedahan abdominal (Doenges, 2000)
Tujuan : Tidak terjadi konstipasi
Kriteria hasil : Peristaltik usus normal (5-35 kali per menit), pasien akan menunjukkan pola climinasi biasanya.
Intervensi :
1). Monitor peristaltik usus, karakteristik feses dan frekuensinya
2). Dorong pemasukan cairan adekuat, termasuk sari buah bila pemasukan peroral dimulai.
3). Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur dan berjalan.

f. Gangguan pemenuhan kebutuhan diri (mandi, makan, minum, bak, bab berpakaian) berhubungan dengan keletihan pasca operatif dan nyeri (Carpenito,2001)
Tujuan : Kebersihan diri pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Pasien dapat berpartisipasi secara fisik Imaupun verbal dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan dirinya
Intervensi :
1). Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaai tentang kurangnya kemampuan perawatan diri dan berikan bantun dalam mernenuhi kebutuhan pasien.
2). Berikan pujian alas kemampuan pasien dan mclibatkan keluarga dalam perawatan pasien.

g. Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi (Doenges, 2000)
Tujuan : Pasien mengetahui tentang efek sawing dari operasinya.
Kriteria hasil : Pasien menyatakan memahami tentang kondisinya.
Intervensi :
1). Tinjau ulang efek prosedur pembedahan dan harapan pada masa dating.
2). Diskusikan dengan lengkap masalah yang diantisipasi selama masa penyembuhan.
3). Diskusikan melakukan kembali aktifitas
4). Identifikasi keterbatasan individu
5). Kaji anjuran untuk memulai koitus seksual
6). Identifikasi kebutuhan diet
7). Dorong minum obat yang diberikan secara rutin
8). Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medis.


















PATHWAYS








KISTA OVARI

A. Pengertian
Menurut (Winkjosastro, et. all, 1999) kistoma ovarii merupakan suatu tumor, baik yang kecil maupun yang besar, kistik atau padat, jinak atau ganas. Dalam kehamilan, tumor ovarium yang dijumpai yang paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat menghalang-halangi masuknya kepala ke dalam panggul.

B. Etiologi
Menurut etiologinya, kista ovarium dibagi menjadi dua, yaitu (Ignativicius, Bayne, 1991) :
1. Kista non neoplasma, disebabkan karena ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, diantaranya adalah :
1. Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, berasal dari permukaan epitelium yang berkurang di dalam kortek.
2. Kista fungsional
 Kista folikel, disebabkan karena folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Banyak terjadi pada wanita yang menarche kurang dari 12 tahun.
 Kista korpus luteum, terjadi karena bertambahnya sekresi progesteron setelah ovulasi.
 Kista tuka lutein, disebabkan karena meningkatnya kadar HCG terdapat pada mola hidatidosa.
 Kista stein laventhal, disebabkan karena peningkatan kadar LH yang menyebabkan hiperstimulasi ovarium.

2. Kista neoplasma (Wiknjosastro, et.all, 1999)
a. Kistoma ovarii simpleks. Adalah suatu jenis kistadenoma serosum yang kehilangan epitel kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista.
b. Kistadenoma ovarii musinosum. Asal kista ini belum pasti, mungkin berasal dari suatu teratoma yang pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen yang lain.
c. Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium).
d. Kista endometroid. Belum diketahui penyebabnya dan tidak ada hubungannya dengan endometrioid.
e. Kista dermoid. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.

C. Patofisiologi
1. Kista non neoplasma (Ignativicius, Bayne, 1991 )
1. Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, di dalam kortek yang dalam timbul invaginasi dari permukaan epitelium yang berkurang. Biasanya tunggal atau multiple, berbentuk variabel dan terbatas pada cuboidal yang tipis, endometri atau epitelium tuba. Berukuran 1 cm sampai beberapa cm.
2. Kista fungsional
1). Kista folikel. Kista dibentuk ketika folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Bila ruptur menyebabkan nyeri akut pada pelvis. Evaluasi lebih lanjut dengan USG atau laparaskopi. Operasi dilakukan pada wanita sebelum pubertal, setelah menopause atau kista lebih dari 8 cm.
2). Kista korpus luteum. Terjadi setelah ovulasi dikarenakan meningkatnya hormon progesteron. Ditandai dengan keterlambatan menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah atau pelvis. Jika ruptur pendarahan intraperitonial, terapinya adalah operasi oovorektomi.
3). Kista tuka lutein. Ditemui pada kehamilan mola, terjadi pada 50 % dari semua kehamilan. Dibentuk sebagai hasil lamanya slimulasi ovarium dari berlebihnya HCG. Tindakannya adalah mengangkat mola.
4). Kista Stein Laventhal. Disebabkan kadar LH yang berlebihan menyebabkan hiperstimulasi dari ovarium dengan produksi kista yang banyak. Hiperplasia endometrium atau koriokarsinoma dapat terjadi. Pengobatan dengan kontrasepsi oral untuk menekan produksi LH dan oovorektomi.
2. Kish neoplasma jinak (Wiknjosastro, et.all, 1999)
1. Kistoma ovarii simplek. Kista ini bertangkai dan dapat menyebabkan torsi (putaran tangkai). Di duga kista ini adalah jenis kistadenoma serosum yang kehilangan kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista. Tindakannya adalah pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.
2. Kistadenoma ovarii musinosum. Asal tumor belum diketahui secara pasti, namun diduga berasal dari teratoma yang pertumbuhan satu elemen mengalahkan elemen yang lain, atau berasal dari epitel germinativum.
3. Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium). Bila kista terdapat implantasi pada peritonium disertai asites maka harus dianggap sebagai neoplasma yang ganas, dan 30% sampai 35% akan mengalami keganasan.
4. Kista endometroid. Kista biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding dalam terdapat satu lapisan sel-sel yang menyerupai lapisan epitel endometrium.
5. Kista dermoid. Adalah suatu teratoma kistik yang jinak dimana struktur-struktur ektoderma dengan diferensiasi sempurna seperti epitel kulit, rambut, gigi dan produk glandula sebasea putih menyerupai lemak nampak lebih menonjol dari pada elemen-elemen ektoderm dan mesoderm. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.


D. Gambaran Klinis Kistadenoma Oovarii Serosum
Mayoritas penderita tumor ovarium tidak menunjukkan adanya gejala sampai periode waktu tertentu. Hal ini disebabkan perjalanan penyakit ovarium berlangsung secara tersembunyi sehingga diagnosis sering ditemukan pada waktu pasien dalam keadaan stadium lanjut. Sampai pada waktunya klien mengeluh adanya ketidakteraturan menstruasi, nyeri pada perut bawah, rasa sebah pada perut, dan timbul benjolan pada perut.
Pada umumnya kista jenis ini tak mempunyai ukuran yang amat besar dibandingkan dengan kistadenoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin, akan tetapi dapat pula berbagala karena kista ovariumpun dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50 %; dan keluar pada permukaan kista sebesar 5 %. Isi kista cair kuning dan kadang-kadang coklat karena campuran darah. Tidak jarang kistanya sendiri kecil, tetapi permukaannya penuh dengan pertumbuhan papiler (solid papiloma).

E. Proses Penyembuhan Luka
Tanpa memandang bentuk, proses penyembuhan luka adalah sama, perbedaan terjadi menurut waktu pada tlap-tiap fase penyembuhan dan waktu granulasi jaringan. (Long, 1996), fase-fase penyembuhan luka antara lain :
1. Fase I
Pada fase ini leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak, terbentuk fibrin yang bertumpuk mengisi luka dari benang fibrin. Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi lewat luka dan membantu menutupi luka. Kekuatan luka rendah tapi luka dijahit akan menahan jahitan dengan baik. Setelah besar pasien akan merasa sakit pada fase ini dan berlangsung selama 3 hari.
2. Fase II
Berlangsung 3 sampai 14 hari setelah bedah, leukosit mulai menghilang dan ceruk mulai berisi kolagen serabut protein putih. Semua lapisan sel epitel beregenerasi dalam 1 minggu, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh darah. Tumpukan kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6 sampai 7 hari, jadi jahitan diangkat pada fase ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.
3. Fase III
Kolagen terus tertumpuk, hal ini menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas, terjadi pada minggu ke dua hingga enam post bedah, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.
4. Fase IV
Berlangsung beberapa bulan setelah bedah, pasien akan mengeluh gatal di seputar luka, walau kolagen terus menimbun, pada waktu ini luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur karena penciutan luka akan terjadi ceruk yang berlapis putih.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan silat-sifat tumor itu.
2. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam tumor. Penggunaan foto rontgen pada pictogram intravena dan pemasukan bubur barium dalam colon disebut di atas.
4. Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna menentukan sebab asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan cavum peritonei dengan kista bila dinding kista tertusuk. (Wiknjosastro, et.all, 1999)
G. Penatalaksanaan
Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung tumor. Akan tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi, perlu dilakukan pengangkatan ovarium, bisanya disertai dengan pengangkatan tuba (Salpingo-oovorektomi). (Wiknjosastro, et.all, 1999)
Asuhan post operatif merupakan hal yang berat karena keadaan yang mencakup keputusan untuk melakukan operasi, seperti hemorargi atau infeksi. Pengkajian dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda vital, asupan dan keluaran, rasa sakit dan insisi. Terapi intravena, antibiotik dan analgesik biasanya diresepkan. Intervensi mencakup tindakan pemberiaan rasa aman, perhatian terhadap eliminasi, penurunan rasa sakit dan pemenuhan kebutuhan emosional Ibu. (Hlamylton, 1995).
Efek anestesi umum. Mempengaruhi keadaan umum penderita, karena kesadaran menurun. Selain itu juga diperlukan monitor terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit, suara nafas dan usaha pernafasan, tanda-tanda infeksi saluran kemih, drainese urin dan perdarahan. Perawat juga harus mengajarkan bagaimana aktifitas pasien di rumah setelah pemulangan, berkendaraan mobil dianjurkan setelah satu minggu di rumah, tetapi tidak boleh mengendarai atau menyetir untuk 3-4 minggu, hindarkan mengangkat benda-benda yang berat karena aktifitas ini dapat menyebabkan kongesti darah di daerah pelvis, aktifitas seksual sebaiknya dalam 4-6 minggu setelah operasi, kontrol untuk evaluasi medis pasca bedah sesuai anjuran. (Long, 1996)

II. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Yaitu suatu kegiatan mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan dasar untuk tindakan dan keputusan yang diambil pada tahap-tahap selanjutnya. Adapun pengkajiannya meliputi :

a. Biodata
Meliputi identitas pasien, identitas penanggung jawab dan identitas masuk.
b. Riwayat kesehatan, meliputi keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial ekonomi.
c. Status Obstetrikus, meliputi :
1). Menstruasi : menarche, lama, siklus, jumlah, warna dan bau
2). Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, usia perkawinan
3). Riwayat persalinan
4). Riwayat KB
d. Pengkajian pasca operasi rutin, menurut (Ingram, Barbara, 1999)
1). Kaji tingkat kesadaran
2). Ukur tanda-tanda vital
3). Auskultasi bunyi nafas
4). Kaji turgor kulit
5). Pengkajian abdomen
 Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
 Auskultasi bising usus
 Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa
 Tanyakan tentang perubahan pola defekasi
 Kaji status balutan
6). Kaji terhadap nyeri atau mual
7). Kaji status alat intrusif
8). Palpasi nadi pedalis secara bilateral
9). Evaluasi kembajinya reflek gag
10). Periksa laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan lamanya waktu di bawah anestesi.
11). Kaji status psikologis pasien setelah operasi
e. Data penunjang
1). pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah lengkap (NB, HT, SDP)
2). terapi : terapi yang diberikan pada post operasi baik injeksi maupun peroral

2. Diagnosa Keperawatan Dan Fokus Intervensi
a. Resiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 2001)
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : Tidak mengalami aspirasi, pasien dapat mengungkapkan tindakan untuk menghindari aspirasi.
Intervensi :
1). Pertahankan posisi baring miring jika tidak ada kontra indikasi karena cidera.
2). Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak (jatuh kebelakang, menyumbat jalan nafas).
3). Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi, jika tidak ada kontra indikasi.
4). Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorok dengan tissu atau penghisap dengan perlahan-lahan.
5). Kaji kembali dengan sering adanya obstruksi benda-benda dalam mulut dan tenggorok.

b. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 1995)
Tujuan : Tidak terjadi injuri yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : GCS normal (E4, V5, M6)
Intervensi :
1). Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar pengaman yang terpasang.
2). Jauhkan benda-benda yang dapat melukai pasien dan anjurkan keluarga untuk menemani pasien.

c. Gangguan rasa nyaman : nyeri abdomen berhubungan dengan insisi pada abdomen (Long,1996)
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : skala nyeri 0, pasien mengungkapkan berkurangnya rasa nyeri, tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
1). Jelaskan penyebab nyeri pada pasien.
2). Kaji skala nyeri pasien.
3). Ajarkan tehnik distraksi selama nyeri.
4). Berikan individu kesempatan untuk istirahat yang cukup.
5). Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik sesuai program dokter.
6). 30 menit setclah pemberian obat pengurang rasa sakit, evaluasi kembali efektifitasnya.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan invasi kuman sekunder terhadap pembedahan (Carpenito, 1995)
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi (TTV normal, tidak ada peningkatan leukosit).
Intervensi :
1). Kaji tanda-tanda infeksi dan monitor TTV
2). Gunakan tehnik antiseptik dalam merawat pasien
3). Isolasikan dan instruksikan individu dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum mendekati pasien
4). Tingkatkan asupan makanan yang bergizi
5). Berikan terapi antibiotik sesuai program dokter


e. Resiko konstipasi berhubungan dengan pembedahan abdominal (Doenges, 2000)
Tujuan : Tidak terjadi konstipasi
Kriteria hasil : Peristaltik usus normal (5-35 kali per menit), pasien akan menunjukkan pola climinasi biasanya.
Intervensi :
1). Monitor peristaltik usus, karakteristik feses dan frekuensinya
2). Dorong pemasukan cairan adekuat, termasuk sari buah bila pemasukan peroral dimulai.
3). Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur dan berjalan.

f. Gangguan pemenuhan kebutuhan diri (mandi, makan, minum, bak, bab berpakaian) berhubungan dengan keletihan pasca operatif dan nyeri (Carpenito,2001)
Tujuan : Kebersihan diri pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Pasien dapat berpartisipasi secara fisik Imaupun verbal dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan dirinya
Intervensi :
1). Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaai tentang kurangnya kemampuan perawatan diri dan berikan bantun dalam mernenuhi kebutuhan pasien.
2). Berikan pujian alas kemampuan pasien dan mclibatkan keluarga dalam perawatan pasien.

g. Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi (Doenges, 2000)
Tujuan : Pasien mengetahui tentang efek sawing dari operasinya.
Kriteria hasil : Pasien menyatakan memahami tentang kondisinya.
Intervensi :
1). Tinjau ulang efek prosedur pembedahan dan harapan pada masa dating.
2). Diskusikan dengan lengkap masalah yang diantisipasi selama masa penyembuhan.
3). Diskusikan melakukan kembali aktifitas
4). Identifikasi keterbatasan individu
5). Kaji anjuran untuk memulai koitus seksual
6). Identifikasi kebutuhan diet
7). Dorong minum obat yang diberikan secara rutin
8). Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medis.


















PATHWAYS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
KANKER VULVA

I. Pengertian
Kanker vulva adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam vulva
Vulva merupakan bagian luar dari sistem reproduksi wanita, yang meliputi labia, lubang vagina, lubang uretra dan klitoris.
3-4% kanker pada sistem reproduksi wanita merupakan kanker vulva dan biasanya terjadi setelah menopause.

II. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui. Faktor resiko terjadinya kanker vulva:
1. Infeksi HPV atau kutil kelamin (kutil genitalis)
HPV merupakan virus penyebab kutil kelamin dan ditularkan melalui hubungan seksual.
2. Pernah menderita kanker leher rahim atau kanker vagina
3. Infeksi sifilis
4. Diabetes
5. Obesitas
6. Tekanan darah tinggi.
7. Usia
Tiga perempat penderita kanker vulva berusia diatas 50 tahun dan dua pertiganya berusia diatas 70 tahun ketika kanker pertama kali terdiagnosis.
Usia rata-rata penderita kanker invasif adalah 65-70 tahun.
8. Hubungan seksual pada usia dini
9. Berganti-ganti pasangan seksual
10. Merokok
11. Infeksi HIV
HIV adalah virus penyebab AIDS. Virus ini menyebabkan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh sehingga wanita lebih mudah mengalami infeksi HPV menahun.
12. Golongan sosial-ekonimi rendah. Hal ini berhubungan dengan pelayanan kesehatan yang adekuat, termasuk pemeriksaan kandungan yang rutin.
13. Neoplasia intraepitel vulva (NIV)
14. Liken sklerosus. Penyakit ini menyebabkan kulit vulva menjadi tipis dan gatal.
15. Peradangan vulva menahun
16. Melanoma atau tahi lalat atipik pada kulit selain vulva.
III. Gejala
Kanker vulva mudah dilihat dan teraba sebagai benjolan, penebalan ataupun luka terbuka pada atau di sekitar lubang vagina.
Kadang terbentuk bercak bersisik atau perubahan warna. Jaringan di sekitarnya mengkerut disertai gatal-gatal. Pada akhirnya akan terjadi perdarahan dan keluar cairan yang encer.
Gejala lainnya adalah:
• nyeri ketika berkemih
• nyeri ketika melakukan hubungan seksual.
• Hampir 20% penderita yang tidak menunjukkan gejala.

IV. Penegakan Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil biopsi jaringan. Staging (Menentukan stadium kanker)
Staging merupakan suatu peroses yang menggunakan hasil-hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostik tertentu untuk menentukan ukuran tumor, kedalaman tumor, penyebaran ke organ di sekitarnya dan penyebaran ke kelenjar getah bening atau organ yang jauh.
Dengan mengetahui stadium penyakitnya maka dapat ditentukan rencana pengobatan yang akan dijalani oleh penderita.
Jika hasil biopsi menunjukkan bahwa telah terjadi kanker vulva, maka dilakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui penyebaran kanker ke daerah lain:
 Sistoskopi (pemeriksaan kandung kemih)
 Proktoskopi (pemeriksaan rektum)
 Pemeriksaan panggula dibawah pengaruh obat bius
 Rontgen dada
 CT scan dan MRI.

V. Stadium kanker Vulva
Stadium kanker vulva dari sistem FIGO:
1. Stadium 0 (karsinoma in situ, penyakit Bowen) : kanker hanya ditemukan permukaan kulit vulva
2. Stadium I : kanker ditemukan di vulva dan/atau perineum (daerah antara rektum dan vagina). Ukuran tumor sebesar 2 cm atau kurang dan belum menyebar ke kelenjar getah bening
3. Stadium IA : kanker stadium I yang telah menyusup sampai kedalaman kurang dari 1 mm
4. Stadium IB: kanker stadium I yang telah menyusup lebih dalam dari 1 mm
5. Stadium II : kanker ditemukan di vulva dan/atau perineu, dengan ukuran lebih besar dari 2 cm tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening
6. Stadium III : kanker ditemukan di vulva dan/atau perineum serta telah menyebar ke jaringan terdekat (misalnya uretra, vagina, anus) dan/atau telah menyebar ke kelenjar getah bening selangkangan terdekat.
7. Stadium IVA : kanker telah menyebar keluar jaringan terdekat, yaitu ke uretra bagian atas, kandung kemih, rektum atau tulang panggul, atau telah menyebar ke kelenjar getah bening kiri dan kanan
8. Stadium IVB : kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dalam panggul dan/atau ke organ tubuh yang jauh.

VI. THERAPI
Terdapat 3 jenis pengobatan untuk penderita kanker vulva:
1. Pembedahan
 Eksisi lokal luas : dilakukan pengangkatan kanker dan sejumlah jaringan normal di sekitar kanker Eksisi lokal radikal : dilakukan pengangkatan kanker dan sejumlah besar jaringan normal di sekitar kanker, mungkin juga disertai dengan pengangkatan kelenjar getah bening
 Bedah laser : menggunakan sinar laser untuk mengangkat sel-sel kanker
 Vulvektomi skinning : dilakukan pengangkatan kulit vulva yang mengandung kanker
 Vulvektomi simplek : dilakukan pengangkatan seluruh vulva
- Vulvektomi parsial : dilakukan pengangkatan sebagian vulva
- Vulvektomi radikal : dilakukan pengangkatan seluruh vulva dan kelenjar getah bening di sekitarnya.
 Eksenterasi panggul : jika kanker telah menyebar keluar vulva dan organ wanita lainnya, maka dilakukan pengangkatan organ yang terkena (misalnya kolon, rektum atau kandung kemih) bersamaan dengan pengangkatan leher rahim, rahim dan vagina.
Untuk membuat vulva atau vagina buatan setelah pembedahan, dilakukan pencangkokan kulit dari bagian tubuh lainnya dan bedah plastik.
2. Terapi penyinaran
Pada terapi penyinaran digunakan sinar X atau sinar berenergi tinggi lainnya utnuk membunuh sel-sel kanker dan memperkecil ukuran tumor.
Pada radiasi eksternal digunakan suatu mesin sebagai sumber penyinaran; sedangkan pada radiasi internal, ke dalam tubuh penderita dimasukkan suatu kapsul atau tabung plastik yang mengandung bahan radioaktif.
3. Kemoterapi
Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. Obat tersedia dalam bentuk tablet/kapsul atau suntikan (melalui pembuluh darah atau otot). Kemoterapi merupakan pengobatan sistemik karena obat masuk ke dalam aliran darah sehingga sampai ke seluruh tubuh dan bisa membunuh sel-sel kanker di seluruh tubuh.
VII. Pathways

Pengobatan berdasarkan stadium
Pengobatan kanker vulva tergantung kepada stadium dan jenis penyakit serta usia dan keadaan umum penderita.
- Kanker vulva stadium 0
1. Eksisi lokal luas atau bedah laser, atau kombinasi keduanya
2. Vulvektomi skinning
3. Salep yang mengandung obat kemoterapi
- Kanker vulva stadium I
1. Eksisi lokal luas
2. Eksisi lokal radikal ditambah pengangkatan seluruh kelenjar getah bening selangkangan dan paha bagian atas terdekat pada sisi yang sama dengan kanker
3. Vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening selangkangan pada salah satu atau kedua sisi tubuh
4. Terapi penyinaran saja.
- Kanker vulva stadium II
1. Vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening selangkangan kiri dan kanan. Jika sel kanker ditemukan di dalam kelenjar getah bening, maka dilakukan setelah pembedahan dilakukan penyinaran yang diarahkan ke panggul
2. Terapi penyinaran saja (pada penderita tertentu).
- Kanker vulva stadium III
1. Vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening selangkangan dan kelenjar getah bening paha bagian atas kiri dan kanan.
Jika di dalam kelenjar getah bening ditemukan sel-sel kanker atau jika sel-sel kanker hanya ditemukan di dalam vulva dan tumornya besar tetapi belum menyebar, setelah pembedahan dilakukan terapi penyinaran pada panggul dan selangkangan
2. Terapi radiasi dan kemoterapi diikuti oleh vulvektomi radikal dan pengangkatan kelenjar getah bening kiri dan kanan
3. Terapi penyinaran (pada penderita tertentu) dengan atau tanpa kemoterapi.
- Kanker vulva stadium IV
1. Vulvektomi radikal dan pengangkatan kolon bagian bawah, rektum atau kandung kemih ( tergantung kepada lokasi penyebaran kanker) disertai pengangkatan rahim, leher rahim dan vagina (eksenterasi panggul)
2. Vulvektomi radikal diikuti dengan terapi penyinaran
3. Terapi penyinaran diikuti dengan vulvektomi radikal
4. Terapi penyinaran (pada penderita tertentu) dengan atau tanpa kemoterapi dan mungkin juga diikuti oleh pembedahan.
- Kanker vulva yang berulang (kambuh kembali)
1. Eksisi lokal luas dengan atau tanpa terapi penyinaran
2. Vulvektomi radikal dan pengangkatan kolon, rektum atau kandung kemih (tergantung kepada lokasi penyebaran kanker) disertai dengan pengangkatan rahim, leher rahim dan vagina (eksenterasi panggul)
3. Terapi penyinaran ditambah dengan kemoterapi dengan atau tanpa pembedahn
4. Terapi penyinaran untuk kekambuhan lokal atau untuk mengurangi gejala nyeri, mual atau kelainan fungsi tubuh.

VII. PENCEGAHAN
Ada 2 cara untuk mencegah kanker vulva:
1. Menghindari faktor resiko yang bisa dikendalikan
2. Mengobati keadaan prekanker sebelum terjadinya kanker invasif.
HIPERTENSI GRAVIDA

2.1 Batasan/Pengertian
Adapun batasan/pengertian Asuhan Kebidanan Multi Gravida dengan Hypertensi Kronis adalah :
2.1.1 Asuhan Kebidanan
Asuhan Kebidanan berdasarkan rumusan berbagai pakar dijelaskan sebagai berikut :
Asuhan Kebidanan adalah aktifitas atau intervensi yang dilaksanakan oleh bidan kepada klien yang mempunyai kebutuhan/permasalahan khususnya dalam bidang KIA/KB. (Syahlan. JH, 1993 : 3)
Asuhan kebidanan merupakan bagian dari pelayanan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan keluarga dalam rangka tercapainya keluarga kecil bahagia dan sejahtera. (Santosa. NI, 1995 : 16)
Manajemen kebidanan adalah metode dan pendekatan pemecahan masalah kesehatan ibu dan anak yang khusus dilakukan oleh bidan di dalam memberikan asuhan kebidanan kepada individu, keluarga dan masyarakat. (Santosa. NI, 1995 : 17)
2.1.2 Multi Gravida
Multigravida adalah seorang wanita yang telah beberapa kali hamil. (Sastrawinata. S, 1983 : 156)


2.1.3 Hypertensi Kronis Dalam Kehamilan
Hypertensi kronis dalam kehamilan adalah adanya penyakit hypertensi yang telah terjadi sebelum hamil ataupun diketemukan sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hypertensi yang menetap 6 minggu paska persalinan, apapun yang menjadi sebabnya. (Winardi. B, 1991 : 2)

2.2 Batasan/Konsep Dasar Hypertensi Kronis
2.2.1 Batasan
Penyakit hypertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskuler yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada permulaan nifas. (Sastrawinata. S, 1984 : 90)
2.2.2 Klasifikasi Hypertensi
Menurut American Committee and Maternal Welfare yang dikutip oleh Sulaeman Sastrawinata dalam buku Obstetri Patologi tahun 1981, klasifikasi hypertensi adalah sebagai berikut :
2.2.2.1 Hypertensi yang hanya terjadi dalam kehamilan dan khas untuk kehamilan ialah preeklampsia dan eklampsia.
2.2.2.2 Hypertensi Kronis
Diagnosa dibuat atas adanya hypertensi sebelum kehamilan atau penemuan hypertensi sebelum minggu ke 20 dari kehamilan dan hypertensi ini tetap setelah kehamialn berakhir.
2.2.2.3 Preeklampsia dan eklampsia yang terjadi atas dasar hypertensi yang kronis. Pasien dengan hypertensi yang kronis sering memberat penyakitnya dalam kehamilan dengan gejala-gejala hypertensi yang naik, proteinuri dan edema serta kelainan retina.
2.2.2.4 Transient Hypertensi
Diagnosa dibuat kalau timbul hypertesi dalam kehamilan atau dalam 24 jam pertama dalam nifas pada wanita yang tadinya normotensi dan yang hilang dalam 10 hari post partum.


2.2.3 Derajad Beratnya Hypertensi Akibat Kehamilan
Hypertensi akibat kehamilan dapat diklasifikasikan ke dalam bagian ringan atau berat, menurut frekuensi dan intensitas kelainannya. Adalah penting untuk menyadari bahwa suatu keadaan yang kelihatannya ringan dapat menjadi berat. (Winardi. B, 199: 8)
Tabel 2.1 Indikator Derajad Beratnya Hypertensi Akibat Kehamilan
Kelainan Ringan Berat
Tekanan Distolik < 100mmHg > 110mmHg
Proteinnuri 1+  2+
Sakit kepala tidak ada ada
Gangguan penglihatan tidak ada ada
Nyeri perut atas tidak ada ada
Oliguri tidak ada ada
Kejang tidak ada ada
Creatinin serum normal meningkat
Trombosito penia tidak ada ada
Hyperbilirubinemia tidak ada ada

SGOT minimal nyata
Fetal Growth Retardasion tidak ada ada jelas
Sumber : Pritcard, Mac Donald, Giant. William Obstetri, 1991 : 612

2.2.4 Patofisiologi Hipertensi Kronis
Terdapat banyak akibat hypertensi karena kehamilan yang terjadi pada ibu, berikut akan dibahas berdasarkan analisa kelainan kardiovaskuler, hematologik, endokrin, elektrolit, renal, hepatik dan serebral. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991: 616)
2.2.4.1 Sistem Kardiovaskuler
Meskipun terdapat peningkatan curah jantung pada ibu hamil normal, tekanan darah tidak meningkat, tetapi sebenarnya menurun sebagai akibat resistensi perifer berkurang. Pada ibu hamil dengan hypertensi, curah jantung biasanya tidak berkurang, karena curah jantung tidak berkurang sedang konstriksi arteriol dan tahanan perifer naik, maka tekanan darah akan meningkat. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 616)
2.2.4.2 Hematologik
Perubahan-perubahan hematologik penting yang ditemukan pada wanita hypertensi ialah penurunan atau sebenarnya tidak terjadinya hypervolemia yang normal pada kehamilan, perubahan-perubahan mekanisme koagulasi dan adanya peningkatan dekstruksi eritrosit. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 619)
2.2.4.3 Endokrin
Pada kehamilan normal, kadar plasma renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Sebaliknya pada hypertensi karena kehamilan, bahan tersebut biasanya menurun mendekati batas normal pada keadaan tidak hamil.
Peningkatan aktivitas hormon anti deuritik juga menyebabkan oliguri, kadar chorionic gonadotropin dalam plasma meningkat secara tidak tetap sebaliknya lactogen placenta menurun. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 620)
2.2.4.4 Cairan dan Elektrolit
Biasanya volume cairan ekstraselular pada wanita dengan preeklampsia dan eklampsia sangat bertambah melebihi penambahan volume yang biasanya terjadi pada kehamilan normal. Mekanisme yang menyebabkan ekspansi cairan yang patologis belum jelas. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 621)
2.2.4.5 Perubahan Hepar
Pada HKK (Hipertensi Karena Kehamilan) yang berat, kadang terdapat kelainan hasil pemeriksaan hati yang meliputi peningkatan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminace), hyperbilirubin yang berat jarang terjadi. (Pritchard, Mac Donald, Gant. 1991 : 623)
2.2.5 Pengaruh Hipertensi Terhadap Kehamilan
Sebagai akibat penurunan sirkulasi uteroplasenta maka konsumsi makanan terhadap janin juga mengalami penurunan. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan badan janin merupakan akibat yang paling sering, dalam penelitian mendapatkan frekuensi 15% bayi IUGR dan 27% bayi premature walaupun dilakukan perawatan standart. (Winardi. B, 1991 : 5)
Diduga bahwa kapasitas nutrisi plasenta dalam keadaan tersebut dipacu oleh peningkatan tekanan perfusi, dengan ini pula maka peningkatan klirens dehidroisoandosteron sulfat. (Winardi. B, 1991 : 6)
Solusio placenta sejak lama diketahui lebih sering dijumpai pada ibu dengan hypertensi. Insiden tertinggi didapatkan pada ekslampsi 23,6% disusul hypertensi kronis 10% dan pre eklampsi 2,3%.(Winardi. B, 1991 : 6)
2.2.6 Pengaruh Kehamilan Terhadap Hypertensi
Dikatakan 60% dari wanita yang menderita hypertensi kronis, pada saat hamil akan mengalami kenaikan tekanan darah, 15-30% mempunyai resiko untuk mendapatkan superimposed pre eklampsia.
Resiko terjadinya superimposed pre eklampsi tidak tergantung pada tingkat hypertensinya. Bila terjadi penurunan fungsi renal (BUN > 20mg%) kreatinin serum > 1,5mg% pada keadaan hypertensi kronis, maka resiko terjadinya superimposed pre eklampsi mendekati angka 100%.
Dengan meningkatnya tensi pada saat hamil maka resiko lain juga menjadi lebih tinggi misalnya infark miokard akut, CVA, payah jantung, gagal ginjal, hematuria. (Winardi. B, 1991 : 6)
2.2.7 Diagnosa
2.2.7.1 Diagnosa hypertensi ditegakkan dengan pengukuran secara serial dalam waktu berbeda-beda, dengan selang waktu beberapa jam sampai beberapa hari, teknik pemeriksaan sangat penting diperhatikan, karena harus dilakukan dengan benar. (Winardi. B, 1991 : 7)
2.2.7.2 Cara Pengukuran
Cara pengukuran tekanan darah yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
1. Memakai alat sphygnomanometer air raksa dengan menggunakan sthetoscope yang baik (peka)
2. Posisi duduk praktis untuk skrining
3. Posisi berbaring lebih memberikan hasil yang bermakna
4. Lengan atas harus bebas dari baju yang ketat
5. Memakai cuff yang sesuai (dapat melingkari 2/3 panjang lengan atas). (Winardi. B, 1991 : 7)
2.2.7.2 Diagnosa hypertensi kronis
Diagnosa hypertensi kronis harus memnuhi kriteria sebagai berikut :
1. Terjadi sebelum hamil atau sebelum 20 minggu kehamilan
2. Tidak ada proses mola (Winardi. B, 1991 : 7)
Apabila penderita datang pertama kali sesudah minggu 20-24 kehamilan, sulit untuk membedakannya dengan PIH. Secara khusus kita bisa mengadakan diagnosa banding dengan beberapa ciri yang agak berbeda dengan PIH antara lain sebagai berikut :
Tabel 2.2 Perbedaan Hypertensi Kronis dengan PIH
Differensial Diagnosa
Karakteristik Hypertensi Kronis PIH
1. Onset sebelum hamil/ sesudah minggu 20 -
hamil < 20 – 21 minggu 24 kecuali penyakit
tropoblast
2. Usia biasanya relatif tua relatif muda
3. Paritas biasanya multi biasanya primi
4. Nutrisi diet adekuat diet protein inadekwat
5. Roll Over Test negatif positif
6. Sesudah persalinan permanen, sesudah 3 bulan biasanya hilang
6 mg pp selalu hilang
3 bln pp
7. Riwayat keluarga positif biasanya negatif
8. Proteinun seringkali negatif biasanya positif
Sumber : Winardi, B. 1991. Hipertensi Kronis Pada Wanita Hamil : 8
2.2.7.4 Pemeriksaan Labotarium
Pemeriksaan pendahuluan diperlukan untuk menyingkirkan penyakit yang secara sekunder dapat menyebabkan hypertensi antara lain :
1. Faal ginjal : untuk mengetahui kemungkinan penyakit ginjal menahun seperti pielonefritis akut, polikistik,dll.
2. Cultur urine : untuk mengetahui kemungkinan infeksi ginjal.
(Winardi. B, 1991 : 8)
2.2.7.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakan diagnosa hipertensi kronis adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan mata : dengan funduscopy untuk evaluasi lamanya penyakit diderita
2. Pemeriksaan jantung : dengan bantuan ECG dapat kita diagnosa adanya komplikasi pembesaran jantung yang menggambarkan lamanya proses hypertensi.
(Winardi. B, 1991 : 8)
2.2.7.6 Pemantauan Kesejahteraan Janin
Oleh karena penyakit hypertensi kronis sering kali menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin, maka pemantauan kesejahteraan janin mutlak harus dilakukan. Pemantauan bisa dilaksanakan dengan cara paling sederhana berupa pemantauan pertambahan berat badan, tinggi furdus uteri hingga paling canggih dengan pamakaian USG, NST dll. (Winardi. B, 1991 : 9)
2.2.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengelolaan/pengobatan penderita hypertensi kronis pada wanita hamil adalah :
2.2.8.1 Untuk mempertahankan aliran darah pada uterus terutama pada saat pembentukan plasenta.
Usaha – usaha yang di perlukan untuk mencapai usaha tersebut adalah :
Tirah baring
Tirah baring terutama pada siang hari mulai setidak-tidaknya 1 jam dalam sehari dan ditingkatkan sesuai umur kehamilan. Curet menganjurkan bed rest selama 4 jam pada siang hari disamping tidur malam 10 jam. (Winardi. B, 1991 : 10)
Keunggulan tirah baring ini dapat meningkatkan perfusi utero placenta terutama pada posisi tidur miring kiri.
Mekanisme tirah baring dijelaskan sebagai berikut :
Tirah Baring (miring)

Aliran darah rahim  RBF  GFR 
 
Amine endogen  PNM  Diurisis 
Epi/Nonepinefrun T D  
Na loss 

Keterangan :
RBF : Aliran Darah Ginjal
GFR : Glomerular Filtration Rate
TD : Tekanan Darah
PNM : Kematian Perinatal (Winardi. B, 1991 : 10)
Tirah baring absolut tidaklah diperlukan. Dikatakan bahwa absolute bed rest dapat meningkatkan resiko embas paru. Selain itu dari segi psikologis ibu kurang menguntungkan. Pada hypertensi yang berat disarankan tirah baring sampai saat persalinan.
Pemberian Obat
Pemberian phenobarbital dikatakan dapat meningkatkan keberhasilan program tirah baring ini. Apabila tirah baring dan pemberian sedatif ringan tak memberikan respon, perlu dipikirkan pemberian anti hypertensi. (Winardi. B, 1991: 12)
Diet
Diet yang baik diperlukan bagi pertumbuhan janin dalam rahim. Kandungan protein minimal 90 gr setiap hari. Diet rendah garam tidak ada keuntungan, bila didapatkan proteinuri maka suplement pengganti protein yang hilang harus dipikirkan. Pada penderita obesitas ada baiknya menurunkan berat badan. (Winardi. B, 1991 : 12)
2.2.8.2 Untuk mengendalikan hypertensi dan mencegah superimposed pre eklampsia/eklampsia.
Pada hypertensi ringan terapi yang diajarkan adalah tirah baring saja dengan pemantauan yang rutin 2x seminggu, sampai minggu ke 30, sesudahnya seminggu sekali, bila perlu dapat diberikan phenobarbital, juga diet seimbang karbohidrat. Sedangkan obat anti hypertensi yang sering dipakai adalah alfa metildopa, beta blockers, hidralazin, clonidine, prazosun, antagonis kalsium, diuretikum. (Winardi. B, 1991 : 12)
2.2.8.3 Pengakhiran kehamilan bila keadaan menjelek atau terjadi gangguan pertumbuhan janin, apabila janin mampu hidup diluar tubuh ibu.
Oleh karena disfungsi plasenta seringkali terjadi pada hypertensi esensial yang berat, dan kematian bayi pada umur kehamilan 38 mg tidak berbeda dengan kehamilan aterm, maka induksi persalinan dianjurkan.
Indikasi penyelesaian kehamilan dapat datang dari ibu maupun janin, indikasi itu meliputi:
Peningkatan serum kreatinin > 50% dari pemeriksaan sebelumnya, gangguan neurologik berat, platelet count dibawah 100x109/1, hypertensi tak terkontrol, peningkatan serum bilirubin.
Indikasi anak : berkurangnya pertumbuhan dan pergerakan janin, maturitas paru, kardiotokografi abnormal.
Cara penyelesaian persalinan dilakukan sesuai dengan situasi dan persyaratan yang ada. (Winardi. B, 1991 : 19)

2.3 Konsep Asuhan Kebidanan Pada Ibu Multi Gravida Dengan Hypertensi Kronis
Penerapan manajemen kebidanan dalam bentuk kegiatan praktik kebidanan dilakukan melalui proses yang disebut langkah-langkah proses manajemen kebidanan. Langkah-langkah itu meliputi : pengkajian, analisa data, diagnosa, masalah dan kebutuhan, intervensi, implementasi dan evaluasi hasil tindakan.
Proses manajemen kebidanan merupakan proses yang terus menerus dilaksanakan, dan kemudian timbul masalah baru maka proses kembali ke langkah pertama. (Santosa. NI, 1995 : 6)
2.3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dalam melaksanakan asuhan kebidanan. Kegiatan yang dilakukan adalah anamnesa, pemeriksaan data obyektif yang meliputi palpasi, auskultasi, perkusi, inspeksi serta pemeriksaan penunjang.
2.3.1.1 Anamnesa
Anamnesa ialah tanya jawab antara penderita dan petugas kesehatan tentang data yang diperlukan.
Tujuan anamnesa meliputi : untuk mengetahui keadaan penderita, membantu menegakkan diagnosa dan agar dapat mengambil tindakan segera bila diperlukan. (Ibrahim. C,1996 : 80)
Hal-hal yang ditanyakan pada saat anamnesa meliputi :
Anamnesa Rasional
1. Anamnesa Umum
Biodata terdiri darai nama klien dan suami, usia, suku bangsa, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan dan penghasilan serta alamat.Pada penderita dengan Hipertensi Kronis, usia biasanya lanjut atau lebih dari 35 tahun.
2. Anamnesa kesehatan keluarga
Terdiri dari penyakit keluarga klien, apa ada yang menderita penyakit keturunan (asma), diabetes mellitus, haemophili keturunan kembar dan penyakit kronis. Pada penderita dengan Hipertensi Kronis ditanya pula apakah dari pihak keluarga ada yang menderita penyakit hipertensi.
3. Anamnesa kesehatan klien
Yang perlu ditanyakan adalah sakit kepala, gangguan mata, nyeri perut atas, dan apakah sebelum hamil atau sebelum usia kehamilan 20-21 minggu pernah menderita hipertensi .
4. Anamnesa kebidanan terdiri dari
Riwayat kehamilan ini ( keluhan nutrisi, pola eliminasi, astifitas, pola istirahat/tidur, seksualitas, imunisasi)
Riwayat menstruasi (menarche, lama haid, siklus, jumlah darah haid, dismenorrhae, keluhan, hari pertama haid terakhir, fluor)
Riwayat kehamilan, persalinan, nifas dan KB yang lalu, apakah pernah disertai dengan hipertensi. Dengan adanya biodata kita dapat mengenal klien serta diketahui permasalahan yang timbul sehingga lebih terbuka membicarakan masalah kepada petugas kesehatan. (Ibrahim. C, 1996 : 81)



Dengan menanyakan penyakit/kesehatan keluarga dapat diketahui penyakit yang mempengaruhi kehamilan, langsung ataupun tak langsung. (Ibrahim. C, 1996 : 83)




Dengan menanyakan gangguan subyektif kepada klien dapat membantu menegakkan diagnosa



Dengan menanyakan riwayat kehamilan sekarang diharapkan petugas kesehatan mengetahui keadaan kehamilannya. (Ibrahim. C, 1996 : 85)
Dengan menanyakan riwayat menstruasi untuk membantuk menegakkan diagnosa (umur kelahiran) dan tafsiran persalinan

Dengan menanyakan riwayat kehamilan, persalinan, nifas, KB yang lalu maka petugas kesehatan dapat memperkirakan kelainan pada kehamilan maupun persalinan

2.3.1.2 Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan umum adalah pemeriksaan yang lengkap dari penderita untuk mengetahui keadaan atau kelainan dan penderita.
Tujuan dari pemeriksaan umum : untuk mengetahui kesehatan umum ibu dan mengetahui adanya kelainan yang dapat mempengaruhi kehamilan. (Ibrahim. C,1996: 87)
Pemeriksaan umum pada ibu hamil dengan hypertensi kronis meliputi :
No Pemeriksaan Rasional
1.





2.


































3. Keadaan umum meliputi :
 Postur tubuh klien (tinggi atau pendek) bentuk perut klien, ekspresi klien (lesu, pucat atau senang). (Ibrahim. C, 1996 : 87)


Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : pada usia kehamilan 20-30 minggu. Normalnya pada wanita hamil dibagi menurut umur sebagai berikut :
20 tahun : Tekanan darah 120/80 mmHg
20-30 tahun : Tekanan darah 110/70 mmHg
(Ibrahim. C, 1996 : 91).
Pada penderita dengan hipertensi kronis didapatkan tekanan darah >140/90 mmHg sebelum hamil atau sebelum usia kehamilan 20-21 minggu.
 Nadi : dihitung 15 menit dikalikan empat, menghitung dengannadi pada pergelangan tangannya. (Bouwhizen. M, 1986 : 28)




 Suhu : suhu badan normalnya 36,5oC-37.5oC. (Bouwhizen. M, 1986 : 14)







 Respirasi : respirasi dihitung dari keteraturan pernapasan normalnya 18-24 x 1 menit. (Bouwhizen. M, 1986 : 28)





Mengukur berat badan
Beratbadan pertambahannya sampai hamil genap bulan lebih kurang 11-11,5 kg sehingga kenaikan rata-rata berat badan setiap minggu 0.5 kg. (Ibrahim. C,1996 : 110)
Pada penderita Hipertensi Kronis yang mengarah kearah superimposed pre eklampsia didapatkan kenaikan berat badan yang melebihi dari normal.
Mengukur tinggi badan
Pengukuran tinggi badan dilakukan pada ibu yang pertama kali datang. Tinggi badan tidak boleh  145 cm. (Manuaba. IBG, 1998 : 37)

Mengukur lingkaran lengan atas (LILA) normalnya 23,5 cm. (Santosa. NI, 1995 : 67)
Dengan melihat keadaan umum pasien atau klien dapat diketahui keadaannya normal atau menunjukkan adanya kelainan
Pada wanita hamil yang dikatakan darahnya lebih dari normal perlu mendapat pengawasan dan nasehat untuk banyak istirahat dan pengaturan denyut




Pada penderita yang mengalami kehilangan darah maka frekuensi denyut nadi pergelangan tangan akan meningkat dan denyutnya lebih sukar diraba
Pada penderita dengan suhu tubuh lebih dari 38oC menunjukkan orang yang bersangkutan mengalami demam, kalau suhu tubuh kurang dari 35oC maka orang tersebut mengalami suhu rendah.

Dengan menghitung pernapasan dapat kita ketahui apakah pernapasan penderita terhenti sama sekali atau tidak, sehingga perlu segera diambil tindakan untuk menyelamatkan penderita
Dengan mengukur berat badan dan memantau hasilnya. Pada kenaikan berat badan yang lebih dari 0,5 tiap minggunya dan disertai adanya aedema pada trimester III harus diwaspadai
Dengan mengukur tinggi badan dapat kita ketahui apakah ibu hamil masih belum katagori resiko tinggi atau resiko rendah
Dengan mengukur LILA dapat diketahui status gizi ibu (apakah mengalami kekurangan energi kalori atau tidak)

2.3.1.3 Pemeriksaan fisik dibagi menjadi :
1. Pemeriksaan Inspeksi ialah
Pemeriksaan Inspeksi ialah
memeriksa penderita dengan melihat atau memandang.
Tujuan dari inspeksi ialah melihat keadaan umum penderita melihat gejala-gejala kehamilan dan kemungkinan adanya kelainan-kelainan. (Ibrahim. C,1996: 111)

Hal-hal yang diperiksa Rasional
Kepala dan muka (muka, mata, hidung, bibir dan gigi), apakah ada oedema dan gangguan penglihatan.

Keadaan leher (kelenjar gondok, linfe, struma, pembesaran vena jogularis)


Keadaan buah dada (betuk, warna kelainan, puting susu, coloustrun)



Keadaan perut (bentuk perut, pembesaran, striae, linea, luka parut)


Keadaan vulva (aedema, tandu chadwik, varisei, fluxus, flour, candi lama)


Keadaan tungkai (aedema, varises, luka dari pangkal paha samapai ujung kaki)
Dengan melihat kepala dan muka dapat disampaikan keadaan klien sehat, gembira, sakit atau sedih. (Ibrahim. C, 1996 : 112)
Dengan melihat keadaan leher adalah pembesarannya kemungkinan adanya gangguan kardiokvasikuler. (Ibrahim. C, 1996 : 113)
Dengan melihat keadaan buah dada dapat diketahui bentuk puting susu sehingga bila ada kelainan harus mendapat perawatan atau pemeliharaan yang baik. (Ibrahim. C, 1996 : 114)
Dengan melihat perut bila ada luka parut mungkin akan berpengaruh atau mempengaruhi kehamilan dan persalinan. (Ibrahim. C, 1996 : 114)
Dengan melihat keadaan vulva untuk mencegah terjadinya infeksi waktu persalinan maupun nifas. (Ibrahim. C, 1996 : 115)
Dengan melihat anggota bagian bawah terutama tungkai dapat dipakai untuk menegakkan diagnosa. (Ibrahim. C, 1996 : 115)

2. Pemeriksaan Palpasi
Pemeriksaan palpasi ialah memeriksa klien dengan meraba. Tujuan dari pemeriksaan palpasi meliputi usia kehamilan, posisi, letak dan presentasi janin serta adanya kelainan.
Hal-hal yang diperiksa meliputi :
Pemeriksaan Rasional
Leher meliputi kelenjar thygroid, linfe dan vena jogularis
Dada meliputi benjolan, nyeri tekan pada payudara, pengeluaran coloustrum

Abdomen meliputi leopold I, II, III, IV


Tungkai Dengan pemeriksaan palpasi pada leher untuk mengetahui kelainan seacara dini
Dengan pemeriksaan dada untuk mengetahui adanya tumor payudara dan pengeluaran coloustrum
Dengan palpasi abdomen maka dapat diketahui usia kehamilan dan posisi janin
Dengan palpasi tungkai maka dapat diketahui adanya kelainan yang menyertai kehamilan. (Ibrahim. C, 1996 : 121)

Untuk menentukan tinggi fundus uteri dan umur kehamilan :
Umur kehamilan Tinggi findus uteri (jari) Tinggi firdus uteri (cm)
0-12 minggu
16 minggu
20 minggu
24 minggu
28 minggu
32 minggu

36 minggu



40 minggu Belum berubah
3 jari atas symphisis
3 jari bawah pusat
Setinggi pusat
3 jari diatas pusat
Antara pusat dan processus xyphoideus
Lengkungan tulang iga atau lebih kurang 3 jari dibawah processus xyphoideus
3 jari dibawah processus xyphoideus
(Ibrahim. C, 1996 : 124) -
-
20 cm
23 cm
26 cm

30 cm



33 cm

3. Pemeriksaan Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi adalah memeriksa klien dengan mendengarkan detil jantung janting, untuk menentukan keadaan janin didalam rahim hidup atau mati. (Ibrahim. C,1996 : 137)
4. Pemeriksaan Perkusi
Pemeriksaan perkusi adalah memeriksa klien dengan mengetuk lutut bagian depan menggunakan refleks hammer untuk mengetahui kemungkinnan klien mengalami kekurangan vitamin B1. (Syahlan. JH, 1993 : 68)
2.3.1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan labotarium (urin dan darah) kalau perlu rontgen, ultrasonografi dan Non Stres Test (NST). (Santosa. NI, 1996 : 6 )
2.3.2 Analisa Data, Diagnosa, Masalah, Kebutuhan
Analisa, diagnosa, masalah adalah interpretasi dan data ke dalam masalah-masalah yang khusus atau diagnosa-diagnosa. (Varney, 1997 : 25)
Hasil dari perumusan masalah merupakan keputusan yang ditegakkan oleh bidan yang disebut diagnosa kebidanan.
Diagnosa kebidanan mencakup : kondisi klien yang terkait dengan masalah-masalah utama dan penyebab utamanya (tingkat resiko), masalah potensial dan prognosa (Syahlan, 1995 : 9)
Masalah potensial adalah masalah yang mungkin timbul dan bila tidak segera diatasi akan mengganggu keselamatan hidup klien. (Syahlan, 1995 : 10)
Analisa data dalam rangka menentukan diagnosa atau masalah klien meliputi pengelompokkan data sejenis, yang dapat menunjang untuk merumuskan suatu diagnosa, masalah ataupun kebutuhan klien. Analisa data pada klien dengan hypertensi kronis meliputi :
2.3.2.1 Diagnosa
Multi gravida dengan hypertensi kronis
Data pendukung : 1. Kehamilan lebih dari satu kali, 2. Tekanan darah arteri melebihi 140/90 mmHg, 3. Tidak terdapat protein dalam urine, 4. Oedema ekstremitas hanya sedikit atau tidak ada. (Muchtar. R, 1998 : 158)
2.3.2.2 Masalah
Adapun masalah-masalah yang timbul pada ibu hamil dengan hypertensi kronis adalah :
Gangguan rasa nyaman pusing, data pendukung : 1. Klien mengeluh kadang-kadang kepala pusing, 2. Keadaan umum ibu baik, 3. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih.
2.3.2.3 Kebutuhan
Nasehat yang dapat dianjurkan pada ibu hamil dengan hypertensi kronis adalah sebagai berikut :
1. Istirahat (tirah baring)
2. Pemberian obat anti hypertensi
3. Diet nutrisi seimbang
4. Pemantauan kahamilan
5. Pengenalan tanda-tanda persalinan
6. Pengenalan gawat janin

2.3.2.4 Diagnosa Potensial
Diagnosa potensial terhadap kasus hypertensi kronis pada ibu hamil meliputi :
1. Toxemia Gravidarum
Data pendukung : 1. Tekanan darah  140/90 mmHg, 2. Terdapat protein didalam urine, 3. Oedema pada extremitas, 4. Disertai gejala-gejala subyektif seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan, oliguri dan berat badan meningkat secara berlebihan.
2. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin
Data pendukung : Non Stres Test (NST)
3. Partus Prematur
Data pendukung : partus usia kehamilan  37 minggu.
4. Solusio Placenta
Data pendukung : 1. Keluarnya darah berwarna kehitaman yang disertai rasa nyeri, 2. Palpasi rahim teraba keras seperti papan, 3. Anemia, 4. Pada toucher teraba ketuban yang tegang terus menerus (karena isi rahim bertambah).
2.3.3 Perencanaan
Berdasarkan diagnosa, masalah, kebutuhan yang ditegakkan, bidan menyusun rencana tindakan. Rencana tindakan mencakup tujuan dan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh bidan dalam melakukan intervensi.
Langkah-langkah penyusunan rencana kegiatan adalah sebagai berikut :
2.3.3.1 Menentukan tujuan tindakan yang akan dilakukan. Di dalam tujuan dikemukakan sasaran dan hasil yang akan dicapai.
2.3.3.2 Menentukan kriteria evaluasi dan keberhasilan tindakan. Kriteria evaluasi dan hasil tindakan ditentukan untuk mengukur keberhasilan dan pelaksanaan asuhan yang dilakukan.
2.3.3.3 Menentukan langkah-langkah tindakan sesuai dengan masalah dan tujuan yang akan dicapai.
Langkah-langkah tindakan mencakup : kegiatan yang dilakukan secara mandiri, kegiatan kolaborasi dan rujukan. (Syahlan, 1995 : 10-11)
Perencanaan yang terdapat pada kehamilan dengan hypertensi kronis adalah sebagai berikut :
Rencana Rasional
1. Diagnosa
Multigravida dengan hypertensi kronis
Tujuan :
Setelah dua minggu dilakukan asuhan kebidanan maka gejala hypertensi kronis hilang
Kriteria hasil :
Tekanan darah  140/90 mmHg, pemeriksaan kehamilan normal
Rencana
Jelaskan pada klien tentang kehamilan nya dan hal-hal yang harus diperhatikan



Anjurkan pada klien istirahat yang cukup setidakanya 1 jam pada siang hari dan 10 jam pada tidur malam.
Anjurkan pada klien untuk mengkonsumsi diet gizi seimbang.


Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti hypertensi.

Jelaskan tanda-tanda bahaya kehamilan dan anjurkan untuk segera ke rumah sakit bila ada tanda-tanda itu.

Anjurkan pada klien untuk kontrol satu minggu atau sewaktu-waktu bila ada keluhan.
Masalah
Gangguan rasa nyaman, pusing
Tujuan :
Setelah 7 hari dilaksanakan asuhan kebidanan pada klien dengan hypertensi kronis rasa nyaman terpenuhi
Kriteria :
Keluhan kepala pusing tidak ada tekanan darah  140/90 mm Hg klien merasa nyaman
Rencana :
Kaji penyebab timbulnya rasa pusing pada klien


Jelaskan pada klien tentang cara mengatasi rasa pusing


Anjurkan pada klien untuk sering jalan-jalan pagi hari sesuai batas kemampuan




Kebutuhan:
HE tentang kehamilan resiko tinggi .
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil multigravida dengan hypertensi kronis selama 24 jam, klien memahami akan kehamilannya.
Kriteria :
Ekspresi wajah tenang
perasaan khawatir hilang
istirahat cukup
Rencana :
Kaji penyebab rasa cemas dan pengaruh rasa cemas dan pengaruh cemas terhadap kehamilan

Anjurkan pada klien untuk sering menyimak berita soal kehamilan seperti majalah, TV atau radio
Berikan dukungan dan juga dari keluarga secara ramah dan tenang terhadap kehamilan klien

Anjurkan untuk kontrol teratur setiap satu minggu sekali










Dengan penjelasan yang diberikan diharapkan klien mengerti dan memahami kelainan pada kehamilannya sehingga termotivasi untuk mengatasi masalah yang timbul
Keuntungan tirah baring dapat meningkatkan perfusi uteroplacenta terutama pada posisi tidur miring kiri.
Dengan mengkonsumsi diet gizi seimbang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan metabolisme klien dan pertumbuhan janin didalam rahim.
Dengan melakukan kolaborasi, bidan melakukan fungsi dependent untuk membantu mempertahankan kondisi klien.
Dengan mengetahui tanda-tanda berbahaya kehamilan diharapkan klien dapat segera mengambil keputusan yang cepat dan tepat.
Dengan kontrol teratur diharapkan kesejahteraan ibu dan janin dapat dipantau dengan baik.











Dengan mengetahui penyebab rasa pusing, intervens yang diberikan diharapkan dapat lebih mengena faktor penyebabnya.
Dengan penjelasan alternatif-alternatif cara mengatasi/mengurangi pusing diharapkan dapat mengurangi masalah klien
Dengan jalan-jalan pagi akan menyebabkan relaxasi otot sehingga kehamilan dan persalinan dapat berlangsung dengan baik, dan yang lebih penting klien akan nampak selalu segar dan sehat












Cemas yang berlebihan dapat menyebabkan vasukonstriksi sehingga terjadi vasuspasme dan akhirnya menambah peningkatan tekanan darah
Dengan pengetahuan diharapkan dapat mengurangi tingkat kecemasan klien

Dengan dukungan dari orang-orang terdekat, diharapkan dapat mengurangi beban psikis klien karena lingkungan banyak yang peduli terhadap klien
Dengan kontrol teratur, dapat dipantau kesejahteraan janin sehingga mengurangi kecemasan klien terhadap keadaan bayinya

2.3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Beberapa prinsip dalam pelaksanaan tindakan meliputi :
2.3.4.1 Tindakan kebidanan apa yang dapat dikerjakan sendiri, dibantu atau dilimpahkan kepada staf lainnya, kepala klien atau keluarga serta di rujuk kepada tenaga lain dari team kesehatan.
2.3.4.2 Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan bidan tentang tindakan yang dilakukan.
2.3.4.3 Mengamati hasil dari tindakan yang diberikan petugas kesehatan.
dan mengadakan konsultasi atau Mencatat jika perlu dilakukan rujukan. (Santosa. NI, 1993 : 131-132)
2.2.4.4 Mencatat dan mengadakan konsultasi jika perlu di lakukan perujukan (Santosa. NI, 1993 : 131-132)


2.3.5 Evaluasi
Evaluasi tindakan merupakan langkah terakhir dalam melaksanakan manajemen kebidanan. Setelah dilakukan evaluasi, bidan merencanakan pada klien yang telah dilakukan tindakan kebidanan, perlu atau tidak melakukan follow up. Apabila perlu dilakukan follow up, harus direncanakan bentuk dan waktu follow up terhadap klien. Sehingga klien mendapatkan asuhan kebidanan yang kompresiensif dan berkesinambungan. (Santosa. NI, 1993 : 132)